
#Pegur – Memiliki #RumahPribadi adalah salah satu impian besar bagi banyak #AnakMuda di #Indonesia. #Rumah bukan hanya sekedar simbol kemapanan, tetapi juga bentuk kemandirian dan keamanan jangka panjang. Namun, seiring meningkatnya harga #properti dan tekanan #ekonomi, impian tersebut kini terasa semakin jauh. Banyak generasi muda yang terpaksa bertahan di #kontrakan selama bertahun-tahun, bahkan setelah berkeluarga, karena belum mampu membeli rumah sendiri.
Baca Juga : Kenapa Kos-Kosan Makin Sepi? Ini 7 Alasan Utamanya
Harga Rumah Melaju, Penghasilan Jalan di Tempat
Salah satu hambatan terbesar bagi anak muda untuk memiliki rumah adalah tingginya harga properti yang tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan. Menurut laporan Bank Indonesia, kenaikan harga rumah setiap tahun berkisar antara 5%–7%, sementara kenaikan gaji rata-rata hanya sekitar 3%–4%. Ketimpangan ini menyebabkan kemampuan beli (purchasing power) anak muda terhadap rumah semakin melemah.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, harga rumah tipe 36 bisa mencapai lebih dari Rp500 juta, bahkan untuk lokasi pinggiran. Jika mengandalkan gaji bulanan yang UMR-nya berkisar antara Rp3 juta–Rp5 juta, jelas sangat sulit untuk menabung atau membayar uang muka (DP) rumah secara mandiri.
Gaya Hidup vs Kebutuhan Hidup
Sebagian pihak beranggapan bahwa generasi muda sulit membeli rumah karena gaya hidup boros—nongkrong di kafe, gonta-ganti gadget, atau traveling ke luar negeri. Namun, anggapan ini tidak sepenuhnya adil. Banyak anak muda yang sudah mengatur keuangan secara disiplin, tetapi tetap saja tidak mampu mengejar kenaikan harga rumah.
Faktanya, biaya hidup di perkotaan sangat tinggi. Selain kebutuhan primer seperti makan dan transportasi, anak muda juga harus mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan, cicilan kendaraan, asuransi, serta membantu keluarga. Menyisihkan Rp1 juta–Rp2 juta per bulan untuk menabung DP rumah sering kali terasa mustahil, apalagi jika mereka juga harus membayar uang sewa kontrakan yang tidak murah.
Kontrakan Jadi Pilihan Rasional
Bertahan di kontrakan menjadi solusi paling realistis bagi anak muda di tengah keterbatasan dana. Dengan biaya sewa yang masih lebih terjangkau dibanding mencicil rumah, mereka dapat menjalani hidup yang lebih fleksibel. Di sisi lain, kontrakan juga memberikan kemudahan dalam hal mobilitas kerja, apalagi bagi mereka yang kariernya belum stabil.
Namun, tinggal di kontrakan tentu memiliki banyak keterbatasan. Tidak ada jaminan sewa akan tetap murah tahun depan, belum tentu bisa merenovasi rumah sesuai keinginan, dan selalu ada kemungkinan “digusur” karena kontrak habis atau bangunan dijual oleh pemiliknya.
Kontrakan juga tidak memberikan rasa kepemilikan jangka panjang. Tidak ada jaminan keamanan tempat tinggal di masa tua. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi mereka yang berencana membangun keluarga atau sudah berkeluarga.
KPR dan Skema Subsidi: Masihkah Relevan?
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah meluncurkan berbagai program untuk membantu masyarakat memiliki rumah, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR) subsidi, Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan bantuan uang muka. Namun sayangnya, banyak anak muda yang tidak lolos kriteria karena syarat administratif yang ketat, penghasilan tidak tetap, atau tidak memiliki riwayat kredit yang baik.
Baca Juga : 5 Rekomendasi Hotel Mewah dengan Fasilitas Kelas Dunia di Indonesia
Sebagian lain merasa terbebani dengan jangka waktu KPR yang panjang dan bunga cicilan yang membuat total pembayaran jauh lebih besar dari harga rumah. Padahal, anak muda cenderung menginginkan fleksibilitas finansial, bukan keterikatan cicilan jangka panjang.
Ditambah lagi, rumah subsidi sering kali berada di lokasi yang jauh dari pusat kota atau area kerja, dengan akses transportasi umum yang terbatas. Akhirnya, meski harganya relatif murah, biaya hidup sehari-hari seperti transportasi dan waktu tempuh justru jadi lebih mahal dan melelahkan.
Krisis Hunian di Kalangan Muda: Bukan Masalah Individu
Masalah sulitnya memiliki rumah bukanlah kesalahan pribadi anak muda, melainkan bagian dari krisis sistemik yang melibatkan banyak faktor: regulasi properti yang belum berpihak, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, hingga spekulasi harga tanah oleh pihak-pihak yang hanya mengejar keuntungan.
Pemerintah perlu hadir lebih kuat melalui kebijakan yang memihak pada generasi muda. Misalnya, memberikan subsidi bukan hanya untuk rumah, tapi juga untuk sewa jangka panjang, mengatur batasan harga rumah di kawasan tertentu, atau memberi insentif bagi pengembang yang membangun hunian terjangkau di lokasi strategis.
Solusi Alternatif: Hunian Komunal hingga Co-Living
Di tengah sulitnya memiliki rumah pribadi, muncul berbagai alternatif hunian yang mulai dilirik anak muda, seperti co-living atau hunian komunal. Konsep ini mengedepankan gaya hidup berbagi ruang, fasilitas bersama, dan biaya sewa yang lebih terjangkau.
Selain itu, beberapa startup properti juga mulai menghadirkan layanan cicilan rumah tanpa bank, sistem sewa-beli, hingga konsep tiny house yang lebih ekonomis dan fleksibel.
Inovasi seperti ini menjadi harapan baru, khususnya bagi generasi muda yang melek teknologi dan terbuka terhadap cara hidup yang lebih praktis dan modern.
Ketahanan Mental dan Finansial: Kunci Bertahan
Bertahan di kontrakan bukanlah hal yang memalukan atau gagal. Justru banyak anak muda yang memilih tinggal di kontrakan untuk fokus membangun karier, menabung modal usaha, atau mengembangkan diri sebelum benar-benar siap membeli rumah. Mentalitas “buru-buru punya rumah” justru bisa menjerumuskan ke keputusan keuangan yang tergesa dan berisiko.
Yang penting adalah memiliki perencanaan keuangan yang jelas, memahami prioritas, serta terus mengasah literasi finansial. Dengan strategi yang tepat, impian memiliki rumah tetap mungkin tercapai—meski mungkin tidak sekarang, tapi di masa depan.
Kesimpulan: Dari Kontrakan Menuju Masa Depan
Realita bahwa banyak anak muda Indonesia harus bertahan di kontrakan bukan semata pilihan, tetapi lebih karena keterbatasan kondisi. Harga rumah yang melambung, biaya hidup tinggi, dan minimnya dukungan sistemik membuat kepemilikan rumah menjadi tantangan yang nyata.
Namun di balik keterbatasan itu, generasi muda tetap memiliki semangat, adaptasi, dan kreativitas untuk menghadapi tantangan zaman. Selama ada dukungan dari pemerintah, sektor swasta, dan kesadaran masyarakat, bukan tidak mungkin generasi muda Indonesia suatu hari nanti dapat keluar dari jerat kontrakan dan memiliki rumah impiannya sendiri.
Baca Juga : Perumahan di Indonesia: Ketika Kebutuhan Tak Sejalan dengan Kemampuan
5 Perumahan Murah di Kota Pangkal Pinang
[…] Baca Juga : Bertahan di Kontrakan: Realita Anak Muda yang Sulit Beli Rumah […]
Ketika Apartemen Menjadi Solusi atas Keterbatasan Lahan
[…] Baca Juga : Bertahan di Kontrakan: Realita Anak Muda yang Sulit Beli Rumah […]