Pertunjukan angklung gubrag kerap dipadukan dengan kendang pencang dan gong. Foto: indonesiakaya |
Angklung identik dengan Jawa Barat. Alat musik multitonal atau bernada ganda ini memang berkembang di tengah masyarakat Sunda. Dalam tradisi Sunda masa lalu, angklung memiliki fungsi ritual keagamaan –untuk mengundang Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri (dewi padi lambang kemakmuran) agar memberikan berkah dan kesuburan pada tanaman padi.
Menanam benih padi di tanah orang Kanekes, tulis Saleh Danasasmita dalam Kehidupan Masyarakat Kanekes, dipandang mengawinkan Nyi Pohaci dengan bumi dan ritual ini selalu diiringi dengan angklung. Demikian pula saat upacara seren taun atau panen padi dipersembahkan permainan angklung.
Angklung merupakan alat musik tradisional yang terbuat dari potongan bambu. Ia terdiri dari dua sampai empat tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan. Tabung bambu diukir detail dan dipotong sedemikian rupa untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digoyang. Jenis bambu yang digunakan ialah bambu temen (bambu wulung), bambu belang, dan bambu tali. Untuk yang besar ada juga yang mempergunakan bambu surat.
Angklung termasuk ke dalam golongan alat-alat yang dengan istilah musik disebut idiophone, yakni alat-alat yang badannya sendiri mengeluarkan bunyi atau nada bilamana kita sentuh atau pukul.
“Karena bentuknya tegak lurus, maka angklung ini dimainkan (dibunyikan) dengan cara digoyang, tidak dipukul,” tulis Helius Sjamsuddin dan Hidayat Winitasasmita dalam Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia. Di dalam permainan, angklung ada yang berfungsi memainkan melodi lagu, dan ada juga sebagai angklung pengiring (pengiring lagu).
Kata “angklung” sendiri berasal dari bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain angklung serta dari suara “klung” yang dihasilkan instrumen bambu ini.
Tak ada keterangan pasti kapan angklung mulai dikenal dan dimainkan. Diperkirakan alat musik ini sudah dikenal sebelum masa Kerajaan Sunda sekitar abad ke-11.
Ada beberapa jenis angklung. Tapi umumnya dikelompokkan menjadi dua: angklung tradisional dan angklung modern.
Masyarakat kampung budaya Sindang Barang menjadikan Angklung Gubrag sebagai iringan dalam rutual Ngala Cai Kukulu. Foto: indonesiakaya |
Di kalangan masyarakat Sunda, keberadaan angklung tradisional terkait erat dengan mitos Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri sebagai lambang dewi padi. Angklung tradisional ini dimainkan pada upacara-upacara adat, seperti pesta panen, turun bumi, seren taun, menyambut tamu kehormatan, dan sebagainya. Di dalam permainan, angklung yang memiliki tangga nada pentatonik (da – mi – na – ti – la) biasa dilengkapi dengan alat lain seperti dogdog, kendang dan gong.
Beberapa jenis angklung tradisional, seperti termuat di buku Ketika Musik Bambu Dibicarakan, hingga kini masih ada di lingkungan masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten. Sebut saja angklung buhun (Desa Kanekes, Banten), angklung bungko (Desa Bungko, perbatasan Cirebon dan Indramayu), angklung gubrag (Desa Cipining, Bogor), angklung dogdog lojor (Kasepuhan Pancer Pangawinan atau Kesatuan Adat Banten), angklung badeng (Desa Sanding, Garut), angklung buncis (Desa Baros, Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis), angklung bungko (Indramayu), dan angklung ciusul (Banten).
Kemunculan angklung modern tak bisa dilepaskan dari sosok Daeng Soetigna. Pada 1938, rumah Daeng di Kuningan, Jawa Barat yang saat itu seorang guru HIS (Hollandsch-Inlandsche School) setingkat SD sekarang, kedatangan seorang pengemis tua yang memainkan angklung buncis.
Karena terkesan, dia membeli angklung dari pengemis itu untuk dipelajarinya. Kemudian dia mencari dan bertemu dengan pembuat angklung bernama Pak Djaja, yang dia sebut sebagai “guru besarnya”. Dia juga berguru kepada Pak Djaja mengenai hal-ihwal angklung.
Angklung Gubrag merupakan salah satu bentuk seni yang lahir dari pola masyarakat sunda yang agraris. Foto: indonesiakaya |
Karena keuletannya, Daeng berhasil mengubah tangga nada angklung tradisional yang pentatonik menjadi angklung modern dengan tangga nada diatonik chromatik (do – di – re – ri – mi – fa – fi – sol – sel – la – li – ti – do). Angklung inilah yang kemudian diperkenalkan dan dipopulerkannya. Angklung ini kemudian disebut “angklung modern” atau disebut pula “Angklung Padaeng”. Untuk itu pula Daeng Soetigna mendapat julukan “Bapak Angklung Indonesia”.
Sejak itu, angklung berkembang dan mulai dikolaborasikan dengan alat musik lain seperti piano, gitar, drum, dan bahkan dalam bentuk orkestra. Angklung juga dipentaskan dalam pertunjukan-pertunjukan musik bertaraf regional, nasional, hingga internasional.
Setelah Daeng Soetigna, pengembangan angklung dilakukan muridnya: Mang Udjo Ngalagena. Pada 1967 dia mendirikan pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang dikenal dengan nama Saung Angklung Mang Udjo di Padasuka Cicaheum, Bandung. Di tempat ini, pengunjung bisa belajar memainkan angklung, menonton pertunjukan musik angklung, serta melihat langsung proses pembuatan alat musik ini.
Baca juga: Mengenal Suku Asmat: Suku Titisan Dewa di Papua
Berkat seniman-seniman kreatif dan inovatif, angklung terus berkembang dan mendapat pengakuan dunia. Pada November 2010, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia.
Angklung sebagai instrumen musik maupun seni pertunjukan telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Namun, inovasi tetap dibutuhkan agar angklung mampu bertahan seiring perkembangan zaman. Dari pengembangan dan inovasi itulah muncul angklung piano, angklung toel, hingga angklung robot.
Jika Indonesia tidak terus-menerus mengembangkannya, penetapan angklung sebagai warisan budaya dunia bisa menjadi bumerang. Sebab, negara manapun bisa mengembangkan dan melakukan inovasi terhadap alat musik ini.
Sumber: indonesiakaya.com