Profil Pengusaha Burhanuddin

Baharuddin Sanian tengah mencari keberadaan hilang. Pengusaha sampah Lhokseumawe bermula dari pristiwa tsunami Aceh dulu. Dia tengah mencari kerabatnya yang hilang. Sampai di Banda Aceh, hanya tampak banyak jenasah tergeletak, diantaranya tumpukan sampah bertumpuk- tumpuk.
Baharuddin tercengang melihat pemandangan tersebut. Disaat sama beberapa orang nampak tengan cari- cari besi. Mereka bukan mencari jenasah. Malah mencari besi yang berharga mungkin dijual kelak. Dia memaklumi karena keadaan begitu ancur.
Menjadi Pengusaha
Banyak orang mencoba bertahan hidup melalui memungut sampah. Baharuddin nampak melihat aneka wadah plastik tidak tersentuh. Padahal jumlahnya menggunung kenapa tidak diambi. Mungkin karena memang tidak laku. Padahal dia merasa sampah plastik hendaknya didahulukan.
“Berbeda dengan besi yang harganya mahal kalau dijual kembali,” ucapnya. Pemandangan tersebut sangat membekas. Bahkan ia mulai memikirkan mengapa tidak didaur ulang. Apa tidak laku dijual kembali sampah plastik layaknya besi.
Dia kemudian merintis usaha sampah plastik. Baharuddin suatu ketika mengumpulkan para pemulung buat belajar. Sampah plastik tidak mudah terurai. Butuh pengolahan khusus sampai plastik dapat dipakai.
Dia kemudian bertemu Dardak, agen pemulung asal Banda Aceh, dan belajar mengapa begitu. Kenapa ketika itu orang cuma mengambil sampah besi. Ternyata Dardak mengolah sampah seadanya. Sampah cuma dikumpulkan dan dibagi dua, menjadi tom dan plastik dan cong atau samsam.
Atom plastik merupakan sampah kemasan plastik minuman. Juga termasuk ember rusak, kursi plastik, dan lain- lain. Penggolongan sederhana tinggal dikumpulkan dijual. Mereka akan dijual ke pengepul atau agen sangat murah.
Baharuddin makin penasaran terutama pengolahan lebih lanjut. Ia membuka internet. Ternyata plastik cuma dikumpul- kumpulin tetapi diklasifikasikan. Dia menyebut sampah plastik saja, sudah memiliki banyak klasifikasi dari bahan kimianya.
“Di internet saya tahu, sampah plastik secara garis besar dibagi tujuh,” tuturnya.
Ada PET polyethylene therephthalate) berupa botol air mineral, HDPE (high density polyethylene) berupa botol oli, kosmetik hingga keresek, PVC (polyvinyl chloride) berupa pipa dan bahan konstruksi; LDP (low density polyethylene) berupa tutup botol air kemasan galon.
Kemudian ada PP (polypropylene) berupa kemasan air dalam gelas hingga peralatan makan; PS (polystyrene) biasanya styrofoam; dan HIPC (high impact plastic cover) untuk perangkat elektronik. Ia menemukan mereka memiliki nilai jual berbeda.
Pemulung tidak memahami perbedaan tersebut. Mereka cuma membagi dua buat dijual- belikan. Dia melanjutkan padahal plastik air mineral saja, memiliki empat jeni botol. “Botolnya itu PET, labelnya PP, tutupnya HDPE, dan segelnya PVC,” jelas pengusaha sampah ini.
Kalau mereka (pemulung) memilah empat jenis plastik dalam satu botol, maka mereka akan mendapat penghasilan lebih. Umumnya pemulung tidak memilih langsung dijual. Alhasil agen akan memberikan uang sama rata.
Bekas air minum bila sudah dibersihkan tutupnya dijual Rp.6500 perkg. Kalau dijual seadanya cuma Rp.4000 perkg. Kalau sampah botol dibersihkan penutupnya akan mahal. Karena keseluruhannya dari bahan PP bisa daur ulang bagus.
Taukah kalau sampah plastik bening air mineral lebih bernilai. Bila dibersihkan lalu dicacah akan bisa dijadikan kantong plastik kualitas tinggi. Inilah kenapa botol plastik air minum bisa mahal. “Kalau gelas plastiknya tak bersih, masih ada sisa penutupnya, maka kualitas biji plastik akan jelek,” jelasnya.
Kebetulan Baharuddin merupakan lulusan teknik mesin. Dia pun menciptakan alat pembersih plastik sendiri. Baharuddin pengusaha sampah Lhokseumawe pernah dicemooh. Baharuddin disebut gila. Ia dikatain teman sampai keluarga.
Kata mereka teman dan keluarga, “sudah enak kerja di Exxon (perusahaan swasta besar), malah sibuk mengurusi pemulung”. Lima bulan selepas bencana tsunami, di Mei 2015, kemudian dia mendirikan usaha Palalap Plastic Recycle Foundation (PPRF) di Lhokseumawe.
Ia dibantu Dardak mendirikan PPRF ini, sebagai agen atau pengepul sampah. Dardak meminta anak buahnya mengumpulkan ke PPRF. Pemulung akan diajarkan memilah berdasarkan bahan kimianya. Dan bila mereka menjual ke PPRF maka akan dibayar lebih mahal.
Ini karena mereka menjual di PPRF sesuai bahan. Mereka juga akan diajarkan memilah sampah. Dari penjelasan Baharuddin, para pemulung di Aceh biasanya akan mengumpulkan sampah, lalu akan dikirim ke Medan tanpa dicacah atau digrinding.
Selain dijual murah faktanya sampah susah diangkut. Bila dijual utuh maka truk akan menampung sedikit. Lewat internet, dia berkenalan dengan pengusaha pencacah plastik asa Bekasi. Burhanuddin lalu membeli mesinnya.
PPRF menjadi pusat penampungan hasil pemulung se- Lhokseumawe. Burhanuddin juga mengajak orang disekitaran tempatnya di Panggoi, Lhokseumawe, bekerja menjadi pemilah sampah. “Pemulung memilah secara kasar, pekerja di penampungan memilah lebih detail,” jelas Burhanuddin.
Burhanuddin mampu menggaet 100 pemulung bekerja bersama. Inilah mengapa LSM internasional di Aceh menganggapnya memberdayakan orang miskin. Taukah bahwa pekerjaan pemulung di Aceh sangatlah dicemooh.
Mereka dianggap rendahan padahal sangat membantu kita. Pemulung cuma menginginkan menghidupi keluarga yang layak. Di Juni 2006, datang LSM asal Belanda, PUM Nederland memberikan bantuan mesin griding kapasitas 50 ton.
Pada 2007, LSM tersebut membantu PPRF mendirikan rumah sebanyak 20 unit buat pemulung di daerah sekitaran. Sayangnya, usaha Burhanuddin tidak dilirik pemerintah daerah, disaat Burhanuddin menawarkan bantuan pengolahan sampah non- organik malah dimintai pengadaan tong sampah.
Mimpinya ialah mendirikan pabrik pengolahan sampah plastik menjadi barang jadi. Pabrik pengolahan buat membuat kantong kresek sampai tali rafia. Salama ini sampah di Aceh dikirim ke Medan, lalu diolah di sana menjadi barang jadi buat dijual kembali.