Biomasa sebagai bahan bakar ‘carbon neutral’ tentu tidak berdiri sendiri sebagai suatu skenario besar untuk menurunkan suhu bumi akibat pemanasan global oleh emisi gas rumah kaca. Kelebihan biomasa sebagai sumber energi terbarukan dengan penggunaannya yang stabil, dalam artian tidak terpengaruh oleh kondisi iklim dan cuaca menjadi produk yang diandalkan dalam berbagai skala aplikasinya. Upaya mengoptimalkan potensi biomasa sebagai sumber energi bisa ditinjau dari sisi pasokan hingga pemanfaatannya.
Dari sisi pasokan, maka keterjaminan pasokan biomasa sebagai bahan baku adalah hal mutlak jika akan digunakan sebagai sumber energi utama, untuk itu sejumlah upaya mulai dari mengumpulkan berbagai limbah biomasa yang pada awalnya hanya dibuang hingga mencari spesies tanaman dengan rotasi cepat (SRC), produktivitas tinggi dan berefek positif di alam dengan dibuat kebun energi. Salah satu tanaman tersebut adalah kaliandra untuk daerah tropis sedangkan di daerah sub-tropis seperti Eropa menggunakan spesies poplar dan willow. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena lokasi di Indonesia yang beriklim tropis membuat produktivitas tanaman kaliandra bisa 4 kali lebih cepat daripada yang beriklim sub tropis atau konkritnya 4 tahun poplar dan willow di Eropa sama seperti 1 tahun kaliandra di Indonesia.
Sedangkan ditinjau dari pemanfaatannya, energi biomasa harus bisa dimanfaatkan secara luas, mudah, murah dan efisien. Biomasa bisa dimanfaatkan ditempat ataupun digunakan ditempat lain yang cukup jauh. Pada penggunaan di tempat atau yang jaraknya dekat, biomasa hanya diseragamkan ukurannya atau ditambah pengeringan. Sedangkan untuk digunakan pada lokasi cukup jauh biomasa tersebut perlu ditambah proses lagi berupa dipadatkan seperti dalam bentuk pellet atau briket. Biomasa tersebut lalu diproses rute thermal (yang paling populer) dengan pembakaran, pirolisis atau gasifikasi untuk mengekstrak kandungan energinya.
Saat ini posisi Eropa telah melampaui Amerika Utara dalam berpacu menurunkan suhu bumi atau upaya mengurangi pemanasan global. Setelah sebelumnya Uni-Eropa menerapkan RED (EU’s Renewable Energy Directive) yang biasa dikenal target 20-20-20 atau yang dimaksudkan adalah mandat untuk menurunkan 20% emisi gas rumah kaca dari tahun 1995 sebagai level dasarnya; menurunkan 20% konsumsi energi; dan untuk 20% untuk energi terbarukan. Hal ini juga yang membuat Eropa adalah konsumen atau pasar terbesar wood pellet dengan perkiraan 80% dari produksi dunia, lalu diikuti Amerika Serikat dan posisi ketiga, Korea Selatan.
Saat ini Uni-Eropa sedang mendekati tahun 2020 untuk realisasi target 20-20-20 tetapi disisi lain mereka mulai menyiapkan rancangan untuk kebijakan baru masalah iklim dan energi dari tahun 2020-2030. Uni-Eropa telah mengusulkan target baru 2030 termasuk menurunkan 40% emisi gas rumah kaca, menurunkan 30% konsumsi energi dan 27% untuk penggunaan energi terbarukan. Saat ini mereka juga sedang mencari strategi untuk mencapai target 2030. Sejarah juga menunjukkan bagaimana kebijakan biomasa adalah pendorong utama untuk perkembangan pasar pellet di Eropa. Hal ini juga yang banyak digunakan sebagai model kawasan atau negara tertentu untuk menerapkan kebijakan energi terbarukan khususnya biomasa.