Pohon kelapa sawit bukan asli tanaman Indonesia tetapi berasal dari Afrika Barat dan dibawa kolonialis Belanda pada pertengahan abad 19. Pada awalnya mereka membawa 4 butir dan ditanam di kebun raya Bogor yang saat ini menjadi monumen atau tugu sawit. Perkebunan sawit pertama kali dibuat di Indonesia pada tahun sekitar awal 1900 di Sumatera Utara. Perkembangan industri sawit dan perkebunannya selanjutnya sangat pesat terutama 10 tahun dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%. Bahkan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak “dituduh” dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit.
Tugu Sawit di Kebun Raya Bogor |
Perkembangan Industri Sawit 1848 -2011 |
Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. Biochar bisa menjadi solusi efektif untuk masalah tersebut. Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar dari penggunaan biochar, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export.
Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar tersebut.
Pada pabrik sawit limbah-limbah biomasa tersebut lebih mudah diolah dengan jumlah sangat banyak khususnya tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch). Satu pabrik sawit rata-rata bisa menghasilkan 200 ton per hari limbah tandan kosong tersebut. Sedangkan di perkebunan sawit limbah biomasa seperti pelepah, daun dan batang sawit, adalah bahan baku untuk produksi biochar tersebut. Batang sawit bahkan banyak memberi dampak negatif ketika tidak diolah dengan memadai atau hanya dibiarkan membusuk di kebun tersebut sehingga memunculkan hama kumbang tanduk, untuk lebih detail baca disini. Optimalisasi pemanfaatan limbah biomasa tersebut memiliki multimanfaat, tidak hanya mencegah terjadinya polusi lingkungan oleh limbah tersebut, dan bisa digambarkan seperti skema dibawah ini.
Ditinjau dari sisi teknologi, teknologi produksi biochar juga sangat bervariasi, dari teknologi sederhana (low tech, low cost) yang murah hingga teknologi tinggi canggih yang efisien, kontrol proses yang presisi tetapi dengan harga lebih mahal. Pada pabrik sawit akan efektif menggunakan teknologi tinggi sehingga bisa diintegrasikan dengan operasional pabrik sawit tersebut. Excess energy dari proses pyrolysis juga akan menggantikan bahan bakar boiler yang selama ini menggunakan fiber dan cangkang sawit. Banyak memang keuntungan pabrik sawit apabila melakukan produksi biochar tersebut untuk lebih detail bisa dibaca disini. Produksi biochar dengan tandan kosong atau EFB biochar juga lebih menguntungkan daripada EFB pellet, penjelasan lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki kebun sawit sebagai bagian dari plasma sawit atau perkebunan mandiri, bisa menggunakan teknologi sederhana (low tech, low cost) untuk produksi biochar tersebut. Produksi biochar dengan cara sederhana juga bisa memanfaatkan excess energy untuk berbagai aktivitas usaha kecil seperti yang dilakukan di Tanzania, Afrika. Dengan cara tersebut masyarakat selain menghasilkan biochar juga mendapat sumber energi termasuk mengurangi pemakaian kayu bakar yang bisa saja didapat dari menebang pohon di hutan yang dilindungi atau mengurangi tekanan deforestasi.
Pupuk adalah komponen biaya tertinggi pada operasional perkebunan sawit. Biochar selain mampu meningkatkan produktivitas buah sawit atau TBS juga bisa mengurangi kebutuhan pemakaian pupuk tersebut. Terjadinya kenaikan pH tanah menjadikan unsur hara mudah terserap oleh pohon sawit dan juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang meningkatkan kesuburannya adalah salah satu manfaat penggunaan biochar tersebut. Dan ketika performa level produktivitas kebun sawit telah mampu dicapai dan dipertahankan maka sejumlah improvement lainnya juga bisa dilakukan. Dari sudut pandang industri, bahan baku merupakan faktor vital yakni dalam hal ketersediaan, kontinuitas suplai dan kualitas, termasuk juga pabrik sawit. Apalagi pada produksi CPO aspek kebun memegang porsi 80% sedangkan aspek pabrik hanya 20%. Hal tersebut menegaskan kalau aspek kebun memegang peranan vital di suplai bahan baku tersebut sehingga upaya memaksimalkan produktivitas termasuk menjaga performa level produktivitas sangat penting dan menjadi prioritas utama. Sedangkan perubahan kebun sawit dari monokultur menjadi polikultur (kebun campur) adalah salah satu improvement lanjut yang bisa dilakukan. Perkebunan monokultur yang luas memang berpotensi rentan terhadap penyakit sehingga perlu dihindari. Secara teknis berapa luas monokultur masih efektif khususnya untuk tanaman sawit memang belum ada temuan yang meyakinkan.