Contoh pembangkit listrik tersebut adalah Fri-El Accera-bagian dari Fri El Green Power Group- yang berada di Napoli, Italia. Pembangkit listrik ini menggunakan CPO dari Indonesia yakni dari perusahaan Sinar Mas, bahkan 50% juga dimiliki perusahaan tersebut. Kapasitas pembangkit tersebut yakni 74,8 MW (600 ribu MW per tahun) yang ekuivalen untuk penggunaan sekitar 40 ribu konsumen rumah tangga. Konsumsi CPO sebagai bahan bakarnya mencapai 125.000 ton/tahun. Sedangkan di Indonesia juga sudah membangun pilot project pembangkit listrik berbahan bakar CPO di Belitung dengan kapasitas 5 MW. Tetapi jika tingkat keasaman terlalu tinggi seperti pada PAO atau Miko maka juga tidak bisa langsung digunakan sehingga perlu diubah dulu menjadi biodiesel atau diturunkan kadar keasamannya hingga bisa digunakan oleh mesin diesel tersebut. CPO kualitas standard memiliki FFA kurang dari 5%, sedangkan low grade CPO atau high FFA CPO lebih dari 5%. CPO standard adalah untuk minyak makan (edible oil) sedangkan high FFA CPO bukan untuk minyak makan (non-edible oil), tetapi tidak ada pengelompokan secara jelas di Indonesia tentang hal itu.
Unit Residue Fluid Catalytic Cracking |
Pada bidang energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) Indonesia diprediksi pada 10 tahun ke depan akan habis. Hal inilah CPO sebagai bahan bakar atau sumber energi pengganti BBM sangat penting dan menjadi perhatian semua pihak. Apalagi Indonesia juga sebagai produsen CPO terbesar di dunia, yakni 38,17 juta ton atau 41,98 ton total dengan minyak inti sawit (PKO) pada 2017. Brazil adalah negara produsen bio-bensin (bioethanol) terbesar di dunia karena juga produsen gula terbesar dengan perkebunan tebu mencapai 9 juta hektar, pertanyaannya Indonesia dengan negara produsen CPO terbesar dan luas perkebunannya mencapai 12 juta hektar juga mampu menjadi produsen biofuel (biodiesel dan bio-bensin) terbesar ? Penggunaan CPO untuk produksi bahan bakar (energi) sangat mungkin rawan konflik dengan penggunaan untuk pangan manusia. Dalam kondisi tersebut tentu saja masalah pangan lebih diprioritaskan dibandingkan energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Amerika pernah berkonflik dengan Mexico akibat produksi jagung diprioritaskan untuk produksi bioethanol (bio-bensin) sedangkan Mexico yang biasa import dari Amerika untuk pangan kekurangan pasokan jagung dan mengakibatkan huru-hara Tortila. Hal tersebut menjadi pelajaran mahal sehingga tidak terulang.
Dengan produksi CPO 38,17 juta ton, penggunaan untuk sektor pangan terutama minyak goreng sebesar 3-5% (setara kurang lebih 2 juta ton)sektor lainnya yakni produk turunan CPO seperti oleokimia 3,8 juta ton/tahun lalu sektor energi yakni biodiesel 2,5 juta ton, export 70% (setara kurang lebih 27 juta ton) maka masih ada 2,87 juta ton yang bisa diolah menjadi bio-bensin (green bensin) tersebut. Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa seharusnya Indonesia tidak boleh mengeksport bahan mentah bagi negara lain seperti CPO sehingga seharusnya eksportnya adalah minimal barang setengah jadi dan lebih baik lagi tentu berupa barang jadi. Struktur atau pola Indonesia yang masih banyak mengeksport barang mentah bagi negara lain mengindikasikan sebagai negara berkembang. Export CPO seharusnya diminimalisir tetapi export produk turunan CPO seperti biofuel dan oleokimia yang masih perlu ditingkatkan. Sebagai komparasi prosentase export biofuel khususnya biodiesel dan oleokimia di Malaysia lebih besar dibandingkan CPOnya, sedangkan export Indonesia sebagian besar masih berupa CPO. Hal tersebut juga karena pengolahan CPO menjadi produk turunannya masih belum banyak dilakukan di Indonesia.