Profil Pengusaha Rudi Chandra

Roda berputar dulu kenek sekarang pengusaha. Dia membalik keadaan, dan kini menjadi distributor besar ayam ke Ibu Kota Jakarta. Lewat kisah Rudi Chandra, mulailah kamu percaya bahwa apapun dapat terjadi, bahkan buat kamu dulu kenek angkotan umum.
Menjadi Distributor Ayam
“Saya jadi kenek bus karena berpikir kerja apa saja, asal jangan menganggur dan halal,” jelasnya kepada pewarta Kompas.com.
Ia sendiri merasakan kejamnya Ibu Kota. Terutama jika sudah bertemu preman, pungli, atau penumpang yang cuma bergelantungan di bus. Rudi sendiri memilih tak mencari masalah. Kalau ada hal seperti itu Rudi memilih mengalah. Tiga bulan berlalu cuma mentok jadi kenek.
Dia tak menghabiskan uangnya. Malah dikumpulkan digunakan buat kursus komputer. Selama delapan bulan ia gunakan fokus belajar mengoprasikan komputer. Hasilnya berkat kursus itulah dirinya diterima bekerja di pabrik pada tahun 1995 -an. Rudi memiliki prinsip menginginkan hidup lebih baik.
Dia ingin beternak ayam. Modalnya cuma Rp.3,5 juta hasil pesangon dan tabungan. Di tahun 1996, didirikan kandang ayam untuk 2.000 ayam modalnya Rp.1,9 juta. Lahan seluas 5.000 meter juga disewanya.
Mantan Kenek Sopir
Disisi lain, harga jual ayam potong miliknya tak naik. Alhasil Rudi nombok pembayaran buat tengkulaknya. Dia kemudian menerapkan sistem habis jual. Maksudnya pembayaran tengkulak selepas ayam habis terjual. Butuh waktu lama bahkan sampai satu bulan lunas.
Rudi buat memenuhi kebutuhan sehari- hari. Terpaksa menyewakan kandang- kandang miliknya. Sewanya yaitu Rp.250 per- ayam. Selain menyewakan kandang juga menjadi tukang bongkar muat sangkar ayam dari mobilnya.
“Saya lalu berpikir, lebih baik menjual daging ayam saja,” terang Rudi.
Menjadi pedagang daging tentu beda dari beternak. Meski menjual sendiri hasil ternaknya tentu beda. Rudi merasakan betul di hari pertama berjualan. Dia punya stok daging 10 kilogram. Namun, hanya ada sepotong paha laku dijual seharga Rp.15000, tak mudah memang.
“Waktu itu, relasi saya memang belum banyak,” jelas Rudi. Untuk daging dipotong dan dibersihkan olehnya sendiri. Dia mencoba menjaga kepercayaan pelanggan. Dalam dua- tiga hari sudah bisa uang dikumpulkan. Ia kumpulkan juga buat membayar peternak patnernya.
“Itu hak orang lain,” Rudi menambahkan. Hasil kerja kerasnya yaitu minibus sebagai kendaraan opersional. Dia beli seharga Rp.8,5 juta. Pelangganya tak lagi cuma pembeli pasar, tapi tukang sayur, hingga pemilik rumah makan, dan juga penjual pecel lele. Ayamnya ditawarkan melului sistem jemput bola. Dia sendiri yang menawarkan langsung ke penjual.
Mulai dari peternak ayam. Kini, ia beralih menjadi pedagang daging ayam pula. Kisah suksesnya berlanjut lewat marketing jemput bola. Dimana para pembeli tak perlu repot datang ke tempatnya. Akan tetapi ia lah sendiri menghantarkan ayam- ayamnya ke sana.
Hingga ada 30 truk siap hilir- mudik dari tempatnya mengangkut ayam. Setiap truk bisa mengangkut 1000 ayam. Bisnisnya mampu menghasilkan 30.000 ayam didistribusikan dari Banten, Jakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau, bahkan sudah sampai Kalimantan.