
Ketika di barat khususnya di Eropa melihat biochar terutama untuk mitigasi iklim yakni sebagai carbon sequestration / carbon sink dan membandingkan dengan berbagai upaya serupa di carbon negative / negative emission technologies dengan kompensasi berupa carbon credits atau BCR (biochar carbon removal) credits maka hal tersebut banyak berbeda dengan khususnya di Asia dan Afrika. Biochar di kedua benua itu terutama untuk meningkatkan kesuburan tanah atau memperbaiki tanah-tanah rusak / terdegradasi sehingga bisa lebih produktif untuk menghasilkan produk pertanian pangan.. Pendekatan yang berbeda itu terutama dilatar belakangi oleh faktor yang mempengaruhinya, yakni khususnya di Eropa ketika masalah perubahan iklim, lingkungan, keberlanjutan dan pemanasan global lebih menjadi konsern mereka maka berbagai upaya yang sejalan dengan itu menjadi penting dan relevan sehingga biochar sebagai salah satu solusi. Sedangkan di Asia dan Afrika, faktor tercukupinya kebutuhan pangan menjadi konsern yang lebih utama.

Saat ini ada 6 NET (negative emission technologies) atau carbon negative action yang bisa menyerap CO2 dari atomosfer seperti diagram diatas. Pada dasarnya diperlukan skala atau kapasitas yang memadai sehingga upaya mitigasi perubahan iklim bisa berjalan secara efektif dan efisien. Faktor kemudahan, biaya dan manfaat tambahan dari aplikasi-aplikasi teknologi di atas akan mempengaruhi implementasinya. Dari keenam NET tersebut biochar memiliki perkembangan tercepat, hal ini karena biochar bisa memenuhi faktor-faktor di atas. Minat ilmiah dan publik pada Biochar mulai tumbuh pada awal tahun 2010 -an dan telah berkembang pesat sejak itu. Fokus awal penelitian biochar adalah pada terra preta (black earth) dan perbaikan tanah. Dan sekarang telah berkembang ke berbagai bidang, termasuk dalam konteks industri dan konstruksi.

Luasnya lahan terdegradasi yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta hektar di Indonesia bisa diperbaiki dengan menggunakan biochar. Apalagi potensi limbah biomasa yang bisa dimanfaatkan juta sangat besar, puluhan juta ton bahkan lebih lebih serta kebutuhan pangan (bahkan bioenergi) juga terus meningkat. Upaya yang bertahap dan berkelanjutan untuk perbaikan lahan tersebut perlu segera dimulai. Perbaikan tanah, sekaligus upaya pengelolaan limbah biomasa, produksi energi sekaligus menjadi solusi iklim dengan NET adalah upaya simultan yang efektif. Hal inilah daya tarik biochar sehingga semestinya menjadi program unggulan bagi berbagai industri yang concern dengan ketahanan pangan dan energi, lingkungan, dekarbonisasi, iklim dan keberlanjutan. Hal ini juga sehingga pembukaan hutan untuk food estate bisa dihindari apabila biochar ini dipilih sebagai solusi.

Pertanyaannya adalah bagaimana biochar ini bisa segera menjadi solusi dan terimplementasi secara massif ? Peningkatan kesadaran tentang manfaat biochar menjadi pintu masuknya. Selanjutnya perbaikan tanah sebagai aksi riil-nya diikuti carbon credit atau bisa dilakukan secara simultan menjadi entry point tercepat industri biochar di Indonesia. Hal ini selain carbon credits dengan biochar atau biochar carbon removal (BCR) credit telah berlaku secara global juga carbon credits menjadi salah satu daya dorong utama pertumbuhan industri biochar secara global. Bahkan secara global BCR credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi.