Hal
penting yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan suatu penelitian
pada unit komersial adalah sisi teknis dan ekonomi. Suatu produk
penelitian yang telah teruji secara teknis perlu dievaluasi pada sisi
ekonominya. Hal tersebut karena pada unit komersial aspek keekonomian
menjadi pertimbangan utama untuk implementasi suatu teknologi tertentu.
Suatu teknologi yang diimplentasikan dengan maksud meningkatkan performa
unit komersial tersebut tetapi tidak memberi keuntungan ekonomi pada
umumnya tidak akan banyak yang tertarik. Demikian juga sebaliknya.
Seberapa keuntungan ekonomi yang bisa didapat dari implementasi
teknologi tersebut ? Apakah sepadan (worth it) dengan upaya yang telah
dilakukan ? Kedua pertanyaan tersebut akan menjadi pertimbangan
berikutnya.
Pada
unit biogas (yang sebagian besar untuk produksi listrik) juga berlaku
kaidah di atas. Dan khususnya unit biogas di Indonesia dan Malaysia
sebagai produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia maka unit biogas
POME atau limbah cair pabrik sawit banyak dibangun sebagai sarana
mengatasi masalah limbah cair dan juga produksi energi khususnya
listrik. Puluhan bahkan ratusan unit biogas POME telah dibangun di
Indonesia dan Malaysia, tetapi jumlah itupun belum sebanding dengan
jumlah pabrik sawit di Indonesia dan Malaysia yang telah mencapai
ribuan. Dan lebih khusus jumlah unit biogas POME di Indonesia lebih
sedikit atau prosentase lebih kecil dibandingkan pabrik sawitnya
dibandingkan di Malaysia. Mengapa hal tersebut terjadi ? Untuk lebih
detail bisa dibaca disini.
Sterilisasi / steamming di pabrik sawit |
Dan
karena produk akhir komersial dari unit biogas komersial tersebut adalah
listrik maka harga listrik akan sangat berpengaruh pada operasional
unit biogas tersebut. Penelitian yang dilakukan di universitas Aarhus di
Denmark bahwa briket biomasa bisa meningkatkan produksi biogas secara
signifikan yakni setiap 1 ton briket jerami yang ditambahkan telah
menambah produksi biogas rata-rata sebesar 400 meter kubik. Dengan nilai
kalori biogas sekitar 4500 kcal/m3 maka setiap ton penambahan briket
jerami akan menambah kalori sebesar 1.800.000 kcal dalam bentuk biogas.
untuk lebih detail bisa dibaca disini.
Pada kasus biogas POME apabila tandan kosong sawit (EFB = empty fruit
bunch) digunakan untuk bahan baku briket bisa jadi peningkatan produk
biogas yang dihasilkan lebih banyak. Hal tersebut karena tandan kosong
sawit telah mengalami proses sterilisasi (steamming) sehingga pori-pori
biomasa tersebut lebih terbuka sehingga luas permukaan (surface area)
lebih besar. Pembriketan tandan kosong sawit tersebut juga akan semakin
memperluas permukaan biomasa tersebut sehingga proses fermentasi anaerob
semakin sempurna dan produk biogas semakin banyak.
Dengan
asumsi harga listrik per kwh di Malaysia dari biogas yakni 0,49 RM (Rp
1.715) dan di Indonesia Rp 1000, dengan peningkatan biogas dihasilkan
tersebut diatas maka di Malaysia lebih menarik dan memberi keuntungan.
Walaupun demikian peningkatan produksi biogas tersebut juga telah
menghasilkan keuntungan menarik apabila diaplikasikan, baik di Indonesia
maupun Malaysia. Estimasi dengan asumsi kapasitas reaktor biogas
150.000 ton dan dengan penambahan briket biomasa sebanyak 15.000 ton
(maksimal 10% dari volume reaktor) telah memberi keuntungan hampir 27
milyar rupiah (aplikasi di Indonesia) dan 14 juta ringgit Malaysia
(aplikasi di Malaysia). Dengan kondisi tersebut sebenarnya sangat
menarik untuk mengimplentasikan riset tersebut pada
pembangkit-pembangkit listrik biogas POME di Indonesia dan Malaysia.
Selain mengurangi limbah padat industri kelapa sawit, peningkatan
produksi biogas yang sebanding dengan produksi listriknya akan memberi
keuntungan yang menarik bagi industri kelapa sawit tersebut.