Profil Pengusaha H. Tohirin Sekeluarga
Sejarah bisnis getuk goreng terkenal H. Tohirin. Banyak bisnis begini tetapi usaha keluarga berikut tetap merajai. Manajemen sederhana berbasiskan kekeluargaan saling membahu. Bila usaha keluarga lain pecah karena dibagi- bagi, mereka tetap berjualan menjadi kesatuan dalam sekomplek.
Berjejer toko getuk gorong bernama sama dalam komplek jalan. Sudah 9 dasawarsa usahanya berjalan sampai diwariskan. Tidak menjadi rebutan bahu- membahu sekeluarga usaha. “Yang pertama dan selalu ramai yang bertuliskan Asli 1,” ujar seorang tukang becak berdialek Banyumasan.
Toko getuk H. Tohirin begitu ramai ketika dikunjungi pewarta SWA. Ini memang toko oleh- oleh khas Sokaraja. Kini Getuk Goreng Asli H. Tohirin namanya dipatenkan. Sudah diwariskan berkembang jadi 10 gerai toko. Gedung toko relatif besar berjejer berdampingan rapih sepanjang jalan utama itu.
Usia bisnis mereka 93 tahun, dihitung semenjak 1918, dan kini banyak usaha getuk goreng berbagai nama. Akan tetapi, menurut pengakuan langsung pelanggan, rasanya getuk goreng H. Tohirin punya cita rasa khas.
Penemu resepnya adalah Mbah Sanpirngad (Almarhum) bersama istrinya, Sayem. Bermula keduanya berusaha nasi sayur. Warungnya sederhana berupa gubuk berbahan anyaman bambu. Selain mereka berjualan nasi sayur dan lauk pauk, terselip makanan getuk singkong.
Sayangnya, semua dagangan kurang laku termasuk si getuk, maka pasangan suami istri tersebut akan membuat sisanya. Tidak mau berputus asa keduanya tetap berjualan. Suatu ketika, Sanpirngad punya ide mengolah getuk sisa yang tidak laku digoreng.
Caranya tidak sulit tinggal ditambah gula kelapa. Ternnyata, rasanya berubah menjadi sangat enak dan cocok di lidah pembeli di warungnya. Sejak itulah, selain getuk basah dan getuk goreng, kenyataanya getuk goreng lah paling dicari pelanggan.
Getuk goreng mereka sangat dicari orang. Nama Getuk Kamal, awalnya cumalah makanan olahan sampingan berubah penyelamat. Usaha getuk goreng Pak Sarpingad mulai terkenal. Getuk goreng yang kemudian dijual dibawah pohon kemal atau asem.
Sepeninggalan Sarpingad pada 1967, usahanya menjadi jualan getuk goreng yang diwariskan kepada anak laki- lakinya, Tohirin. Dia meneruskan sekaligus mengembangkan semakin besar. Ditangannya usaha utama nasi campur malah ditutup.
Tohirin berjualan getuk goreng sampai renovasi warung. Dari bahan anyaman dirubah menjadi gedung permanen. Ekonimi meningkat berkat berjualan getuk goreng. Begitu suksesnya sampai mambawa Tohir berangkat Haji.
Haji Tohirin memang memiliki pandangan berbeda. Ia memiliki visi akan bisnis kedepan. Terlihat dari dia memutuskan mendalami bisnis getuk goreng. Dia menutup usaha nasi, fokus mengerjakan bisnis getuk goreng kemudian menjadikannya oleh- oleh khas.
Begitu namanya berada dipuncak, maka Tohirin kembangkan pusat oleh- oleh dengan produk utama getuk gorengnya. Tentu berbeda karena Tohirin telah membranding getuk khas. Bahkan menjadikan getuk goreng oleh- oleh asli daerahnya.
Usaha tersebut mendorong bisnis lain terutama oleh- oleh. Tidak cuma mengembangkan bisnisnya kedepan. Tohirin membranding getuk gorengnya mamakai namanya. Penggunaan nama asli ternyata merespon bertumbuhnya usaha sejenis di Sokaraja.
Tohirin menyematkan nama “Asli” guna memberikan ciri khas. Dimana kawasan JL Jendral Sudirman di kiri- kanan sudah berjejer saingan. Pusat oleh- oleh getuk goreng begitulah mereka menamai. Haji Tohirin tak mau kalah.
Persaingan begitu ketat bahkan sampai saling menonjolkan. Mereka memasang plang nama besar- besar buat menarik perhatian. Tujuannya mereka pelancong yang datang dari luar daerah. Bahkan, beberapa mereka menggunakan nama “Asli” didepan namanya.
Meskipun persaingan ketat toko Getuk Goreng Asli H. Tohirin disukai. Selain mereka berjualan getuk juga produk lain. Oleh- oleh lainnya merupakan produk titipan produsen lain. Ini sekaligus membantu perekonomian asli daerah.
Namanya semakin terkenal karena berita rasa khas. Ketika H. Tohirin meninggal usaha tersebut tetap berjalan. Dia mewariskan usahanya kepada tiga anaknya: Hj. Ning Waryati, Slamet Lukito dan Hj. Warsuti. Dari ketiganya bisnis Getuk Goreng Asli H. Tohirin terus berkembang dan berjalan baik.
Pada masa ketiganya nama dipatenkan Getuk Goreng Asli H. Tohirin. “Sejak 1997 kami sudah memiliki paten,” ujar Ning Waryati, anak sulung H. Tohirin yang kini berusia 55 tahun. Dimasa sang ayah, usaha getuk gorengnya hanya memiliki tiga gerai dan mengajak keluarga.
H. Tohirin mengajak anak- anak mengurusi ketiga cabang. Sampai pertengahan 2010, usaha mereka membesar memiliki 10 cabang, dimana sembila di Sokaraja, dan satunya di Buntu, Banyumas. Dan tidak menutup kemungkinan akan memiliki cabang baru.
“Kami membuka outlet berdasarkan kebutuhan pasar,” ujar Slamet Lukito, anak kedua H. Tohirin.
Ini tidak lain karena keluarga kompak tidak saling menjatuhkan. Sementara pemegang toko Asli 1 adalah anak pertama H. Tohirin, bernama Ning Waryati, yang juga mengajak putri pertamanya Isniani Nurkhumayah.
Pembuatan getuk sangat tradisional dan dapat dilihat langsung. Pembeli akan melihat semua prosesnya pembuatan. Sekeluarga H. Tohirin sangat menjaga kualitas dan keaslian resep. Menjadi pengusaha sekeluarga memang tidak mudah. Pekerjaan dikerjakan dibelakang di ruangan khusus dibelakang toko.
Di tempat inilah, karyawan laki- laki tengah sibuk mengolah getuk, mereka sibuk memasak dalam jumlah besar buat dijual. Ada yang mengupas singkong, membersihkan, merebus singkong, ada pula yang menumbuk di lumpang, dan ada yang menggoreng.
Begitu getuk goreng jadi, maka akan dibawa ke depan langsung dimasukan toko siap dijual. Pekerja kebanyakan lelaki karena memang butuh tenaga. Karena getul goreng terkenal H. Tohirin bukan main- main. Mereka membuat bahkan ribuan biji getuk digoreng perhari.
Walau permintaan tinggi mereka tetap membuat secara tradisional. Contohnya ini, mengukus masih memakai dandang berbahan bakar kayu bakar. Pembuatan adonan juga masih memakai cara ditumbuk lumpang. Lalu kemasan memakai besek yang besarnya disesuaikan berat jualan.
Dalam ruangan memang nampak mesin disel, tetapi itu cuma dipakai memecah ketela. Sedangkan penghalusan akan memakai si lumpang tersebut. Mesin tersebut juga dipakai apabila permintaan besar sampai kuintal lebih.
Isnaini, mahasiswi Manajemen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, ini memastikan bahwa ditumbuh menghasilkan cita rasa lebih enak. “Gambarannya seperti sambel uleg dan sambel belnder, pasti enak yang diuleg,” jelas pengusaha berhijab yang akrab dipanggil Mbak Is.
Ada hal menarik ketika membahas permintaan pasar luas. Banyak orang menginginkan mereka jualan diluar tempat mereka kini. Tetapi keluarga Tohirin tidak bergeming memilih berjualan sendiri. Jadi jangan harap kamu menemukan produk mereka di toko oleh- oleh lain.
Mereka beralasan getuk gorengnya akan menjadi khas Sokaraja. Bila terdapat getuk bernama sama diluar tempet ini dipastikan palsu. Walau sudah memiliki 10 gerai, tetap mereka kwalahan melayani pesanan pembeli. Tiap toko menjual tidak kurang 50 kg dan 10 kali lipat bila akhir pekan dan liburan.
Menurut Slamet, anak- anak keluarga H. Tohirin dibebaskan mengembangkan bisnis tidak terikat. Ini tinggal disesuaikan kemampuan masing- masing. Mereka diberikan hak nama H. Tohirin dan boleh melebeli produk getuk dihasilkan.
Adapun nama berupa nomor ternyata bukanlah mengenai kepemilikan. Melainkan menandakan urutan gerai dibangun bukan mana lebih baik. Kesepuluh gerai dimiliki orang berbeda- beda, tiapnya punya kemampuan berbeda mengembangkan bisnis jadi hasil beda- beda.
Jumlah gerainya lima milik Warsuti anak ketiga, Ning Waryati memiliki tiga gerai, dan Slamet punya dua gerai. Konon gerai Bu Warsuti memang paling cepat berkembang. Ini dikarenakan manajemen lebih baik dan rapih.
Di gerai milik Bu Warsuti sudah memakai mesin kasir bukan manual. Pemasukan dan pengeluaran sudah tercatat rapi. Berbanding gerai milik saudaranya masih memakai hitung manual. Mungkin dari beberapa hal tampak kompak ternyata tidak juga.
Tidak nampak persaingan jelas dan sinergi anak- anak H. Tohirin lemah. Maka perkembangan bisnis berbeda- beda masing gerai. Dampaknya suatu ketika mungkin akan ada yang tersingkir. Persaingan malah nampak pada harga berbeda- beda, harusnya tidak begitu.
Perbedaan harga malah akan riskan walau menarik pembeli. Orang akan membeli paling murah meski satu pabrikan. Disarankan semua saling membahu membangun brand bersama. Saling mematikan harga justru akan membuat keuntungan tipis, sampai tidak mampu membiayai pengembangan.