
#Pugur – Di tengah mimpi banyak masyarakat #Indonesia untuk memiliki #RumahSendiri, kenyataan di lapangan menunjukkan arah yang berbeda. #HargaRumah di berbagai kota besar dan kawasan penyangga terus mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Sementara itu, daya beli masyarakat tidak tumbuh secepat itu. Akibatnya, membeli #Rumah kini bukan lagi sekadar tantangan, melainkan menjadi mimpi yang makin sulit digapai, terutama bagi #GenerasiMuda dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Apa sebenarnya yang terjadi di #pasar #properti Indonesia? Mengapa harga rumah makin tidak terjangkau? Mari kita kupas faktanya.
Baca Juga : Perumahan di Indonesia: Ketika Kebutuhan Tak Sejalan dengan Kemampuan
Fakta 1: Kenaikan Harga Rumah Konsisten Setiap Tahun
Menurut survei harga properti residensial Bank Indonesia (BI), rata-rata harga rumah tapak di Indonesia meningkat sekitar 3%–5% setiap tahun. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, bahkan lebih tinggi. Misalnya, rumah tipe 36 di wilayah pinggiran Jakarta yang lima tahun lalu bisa didapatkan dengan harga Rp300–400 juta, kini sudah menyentuh angka Rp600 juta hingga Rp800 juta.
Lonjakan harga ini dipicu oleh banyak faktor, seperti:
- Keterbatasan lahan, terutama di kawasan strategis
- Biaya material bangunan yang terus naik
- Permintaan yang tinggi, sementara suplai terbatas
- Spekulasi properti oleh investor
Hal ini membuat masyarakat harus mengeluarkan dana lebih besar untuk mendapatkan hunian yang layak, bahkan di wilayah yang sebelumnya dianggap “terjangkau”.
Fakta 2: Pendapatan Masyarakat Tidak Mengimbangi Kenaikan Harga
Salah satu masalah utama di pasar perumahan Indonesia adalah ketimpangan antara kenaikan harga rumah dan pertumbuhan pendapatan masyarakat. Misalnya, dalam 10 tahun terakhir, rata-rata kenaikan harga rumah bisa mencapai lebih dari 50%, sedangkan kenaikan gaji rata-rata pekerja hanya sekitar 30% dalam periode yang sama.
Bagi pekerja bergaji UMR (Upah Minimum Regional), membeli rumah di kawasan kota besar hampir mustahil tanpa bantuan pembiayaan. Jika ingin membeli rumah seharga Rp500 juta dengan DP 20% (Rp100 juta), mereka harus menabung bertahun-tahun tanpa gangguan pengeluaran lainnya—sesuatu yang jelas tidak realistis.
Baca Juga : 5 Rekomendasi Hotel Mewah dengan Fasilitas Kelas Dunia di Indonesia
Fakta 3: Program Subsidi Tak Menjangkau Semua Kalangan
Pemerintah telah meluncurkan beberapa program bantuan perumahan seperti:
- KPR Bersubsidi (FLPP)
- Bantuan Uang Muka (BP2BT)
- Rumah Subsidi MBR
Namun realisasinya masih terbatas. Banyak masyarakat berpenghasilan rendah tidak memenuhi syarat administratif, tidak memiliki pekerjaan tetap, atau tinggal di kota yang tidak tersedia rumah subsidi dengan lokasi strategis.
Selain itu, kualitas rumah subsidi juga sering kali dipertanyakan: jaraknya jauh dari pusat kota, minim fasilitas umum, dan spesifikasi bangunan yang rendah. Hal ini membuat sebagian orang enggan mengambil rumah bersubsidi meskipun secara harga lebih murah.
Fakta 4: Lokasi Strategis, Harga Sulit Dicapai
Kata kunci utama dalam properti adalah lokasi. Rumah yang berada di lokasi strategis—dekat pusat kota, akses transportasi umum, pusat pendidikan, dan fasilitas publik—tentu akan lebih mahal. Di Jakarta misalnya, rumah tapak di area dalam kota kini hampir mustahil ditemukan dengan harga di bawah Rp1 miliar. Bahkan di kawasan penyangga seperti Depok, Bekasi, atau Tangerang, harga rumah di dekat stasiun atau jalan tol juga sudah menembus Rp700–800 juta untuk tipe kecil.
Akibatnya, masyarakat dipaksa untuk “mundur” semakin jauh ke pinggiran, dan menanggung beban transportasi yang lebih besar, waktu tempuh lebih lama, serta kualitas hidup yang menurun.
Fakta 5: Pasar Properti Menjadi Arena Investasi, Bukan Hunian
Fakta lain yang tidak bisa diabaikan adalah bahwa pasar properti Indonesia banyak dimanfaatkan sebagai instrumen investasi. Banyak properti dibeli bukan untuk ditempati, tetapi untuk disewakan atau dijual kembali saat harganya naik. Praktik ini, meskipun legal, menyebabkan distorsi pasar. Rumah menjadi komoditas, bukan lagi kebutuhan dasar.
Fenomena “rumah kosong” di kota-kota besar semakin nyata. Banyak unit apartemen dan rumah tapak yang tidak dihuni, hanya dimiliki oleh investor sebagai aset tidur. Sementara itu, masyarakat kelas menengah dan bawah kesulitan mencari rumah layak dengan harga masuk akal.
Fakta 6: Alternatif Hunian Belum Menjadi Solusi Nyata
Untuk mengatasi masalah keterjangkauan, sebenarnya ada beberapa alternatif hunian seperti:
- Co-living (berbagi tempat tinggal)
- Hunian vertikal seperti apartemen subsidi
- Rumah mungil (tiny house)
Namun, penerimaan pasar terhadap solusi ini masih terbatas. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap rumah tapak sebagai standar hunian ideal, terutama bagi keluarga. Hunian vertikal masih dianggap tidak nyaman, mahal dalam perawatan, dan kurang cocok untuk jangka panjang.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk menghadapi kenyataan bahwa harga rumah semakin sulit dijangkau, perlu sinergi dari berbagai pihak:
1. Pemerintah
- Mendorong pembangunan rumah terjangkau di lokasi strategis, bukan hanya di pinggiran.
- Menyediakan subsidi sewa untuk mereka yang belum mampu beli.
- Mengendalikan spekulasi harga tanah dan properti.
2. Developer / Swasta
- Fokus membangun hunian menengah bawah dengan kualitas baik.
- Mengembangkan desain inovatif untuk rumah mungil dan efisien.
- Memberikan skema pembayaran fleksibel, bukan hanya mengandalkan bank.
3. Masyarakat
- Meningkatkan literasi keuangan untuk merencanakan pembelian rumah secara realistis.
- Terbuka terhadap alternatif hunian yang lebih efisien.
- Menyesuaikan gaya hidup agar prioritas jangka panjang seperti rumah bisa tercapai.
Kesimpulan: Arah Pasar Properti Perlu Dievaluasi
Harga rumah yang makin tidak terjangkau adalah kenyataan yang dihadapi banyak orang di Indonesia saat ini. Jika tren ini dibiarkan terus berlanjut, generasi mendatang akan semakin sulit memiliki tempat tinggal sendiri. Rumah bukan lagi tempat untuk hidup, tetapi menjadi simbol eksklusivitas yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan tertentu.
Sudah saatnya semua pihak memikirkan kembali arah pembangunan perumahan di Indonesia. Rumah adalah hak dasar setiap warga negara, bukan sekadar komoditas pasar.
Baca Juga : Potensi Investasi Vila di Pesisir Pantai Bangka Belitung




Tren Pasar Properti 2025: Siapkah Anda untuk Era Baru Investasi? - Pugur
[…] Baca Juga : Harga Rumah Makin Tak Terjangkau? Ini Fakta Pasar Properti di Indonesia […]