
#Pugur – Beberapa waktu terakhir, #media #sosial dan forum publik dihebohkan oleh pernyataan yang menyebut bahwa #pengusaha #warung #PecelLele bisa saja dicurigai sebagai pelaku pencucian uang atau terlibat dalam praktik #korupsi terselubung. Hal ini bermula dari pengamatan terhadap fenomena banyaknya warung tenda pecel lele yang buka di berbagai kota, dengan #omzet besar, namun minim pencatatan atau pengawasan.
Meski tudingan ini belum tentu berdasar, namun isu ini mencuatkan kekhawatiran: apakah benar warung pecel lele jadi celah korupsi terselubung? Ataukah ini hanya bentuk stigma terhadap #UsahaKecil yang mulai besar?
Baca Juga : Beberapa Tips Untuk Memulai Usaha Atau Bisnis
Asal Usul Isu: Tudingan Muncul dari Ketidakjelasan Aliran Uang
Tudingan ini bukan tanpa pemicu. Beberapa pengamat ekonomi dan aparat hukum menyebut bahwa usaha makanan jalanan yang menggunakan sistem tunai (cash), tidak memiliki pencatatan digital, dan tidak membayar pajak, berisiko digunakan sebagai tempat “parkir uang kotor”.
Dalam laporan yang ramai diperbincangkan di media, disebutkan bahwa:
- Banyak warung pecel lele tidak memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha)
- Minim pembukuan dan tidak menyetorkan pajak UMKM
- Bisa membuka banyak cabang dengan cepat, tanpa jelas siapa investornya
Dari situ muncullah asumsi: bisa jadi ada uang haram yang dicuci lewat warung kecil.
Namun, benarkah semua warung pecel lele bisa dicurigai seperti itu?
Fenomena Nyata: Pecel Lele Memang Usaha Cepat Tumbuh
Bicara fakta, usaha pecel lele memang menjanjikan. Dalam sehari, satu warung bisa menjual 100–300 porsi. Jika satu porsi dihargai Rp15.000, omzet harian bisa mencapai Rp1,5–4,5 juta. Itu belum termasuk minuman dan lauk tambahan. Dengan modal awal relatif kecil, dalam 3 bulan saja modal bisa kembali.
Pertumbuhan pesat ini terjadi bukan karena uang haram, tapi karena:
- Permintaan pasar tinggi (murah, cepat, enak)
- Modal terjangkau
- Tenaga kerja murah (kerabat atau sesama daerah)
- Tidak perlu lokasi permanen (cukup tenda dan sewa lahan)
Namun justru karena sifatnya informal dan tanpa sistem pembukuan yang jelas, warung pecel lele rentan dianggap mencurigakan bila tiba-tiba berkembang cepat.
Stigma Sosial: Ketika Orang Kecil Sukses, Muncul Curiga
Di balik isu ini, ada fenomena sosial yang menyedihkan: orang kecil kalau mendadak sukses, malah dicurigai.
Bayangkan seorang perantau yang awalnya jualan di emperan jalan, lalu dalam 5 tahun bisa punya 5 cabang. Bukannya diapresiasi, malah disebut “titipan orang dalam”, “cuci uang bos besar”, atau “nggak masuk akal”. Padahal, semua itu bisa dijelaskan dengan kerja keras, jaringan internal sesama perantau, dan efisiensi operasional.
Stigma ini bukan hanya merugikan secara psikologis, tapi juga bisa berdampak hukum. Bila aparat salah paham dan mengaitkan dengan kasus besar, bisa jadi usaha kecil ikut terseret hanya karena tidak ada dokumen atau sistem keuangan yang transparan.
Apa Risiko Nyata Bagi Pengusaha Pecel Lele?
Ketika isu ini membesar, berikut risiko yang harus dihadapi para pelaku usaha pecel lele:
- – Pemeriksaan pajak atau perizinan secara mendadak
- – Penutupan paksa bila tidak punya izin usaha atau NIB
- – Pencitraan buruk di mata konsumen atau tetangga
- – Kecurigaan internal antar sesama pelaku usaha
- – Terseret dalam penyelidikan bila terjadi kasus di sekitar
Meski belum tentu terbukti bersalah, proses pemeriksaan bisa melelahkan dan membuat usaha terganggu.
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan Pengusaha Pecel Lele?
Untuk melindungi diri dari stigma dan potensi masalah hukum, berikut beberapa trik strategis:
Baca Juga : Memahami dan Menguasai Marketplace untuk Kesuksesan Berjualan Online
1. Urus Legalitas Usaha (Minimal NIB)
Mendaftar NIB kini bisa dilakukan secara online di OSS (Online Single Submission). Bahkan usaha tenda bisa masuk kategori mikro dan tetap legal.
NIB penting sebagai bukti bahwa Anda menjalankan usaha resmi.
2. Gunakan Sistem Pembukuan Dasar
Gunakan buku kas harian, aplikasi keuangan seperti BukuWarung, atau Excel sederhana untuk mencatat:
- Pengeluaran harian (bahan baku, gas, gaji)
- Pemasukan harian
- Omzet mingguan dan bulanan
Data ini sangat penting bila sewaktu-waktu diminta membuktikan sumber penghasilan.
3. Bayar Pajak UMKM (PPh Final 0,5%)
Kalau omzet lebih dari Rp500 juta per tahun, Anda bisa ikut skema PPh Final UMKM. Cukup setor 0,5% dari omzet, lalu simpan bukti setor.
Bayar pajak bukan beban, tapi perlindungan hukum.
4. Bangun Branding & Cerita di Media Sosial
Aktif di TikTok, Instagram, atau YouTube. Tampilkan proses usaha dari awal, perjuangan buka cabang, kesibukan dapur, atau interaksi dengan pelanggan.
Orang akan melihat bahwa usaha Anda bukan sulap, bukan titipan, tapi murni kerja keras.
5. Transparansi Soal Cabang dan Karyawan
Jika punya banyak cabang, tampilkan siapa pengelolanya, siapa pemilik modal, dan bagaimana sistem kerja samanya. Ini bisa dicantumkan di media sosial atau spanduk.
6. Libatkan Warga Sekitar
Rekrut karyawan dari kampung sekitar, ikut kegiatan RW/RT, dan beri kontribusi sosial. Bila lingkungan mendukung, risiko laporan miring bisa ditekan.
Haruskah Takut? Tidak. Tapi Waspada, Iya.
Pengusaha pecel lele tidak perlu takut asal semua dijalankan dengan benar. Yang harus dihindari adalah sikap cuek, “ah, ini kan usaha kecil”, lalu abai terhadap legalitas dan pencatatan keuangan. Justru karena Anda usaha kecil, lebih mudah disorot bila tidak ada data pendukung.
Penutup: Saatnya Mengubah Narasi
Isu “pengusaha pecel lele bisa jadi koruptor” seharusnya jadi pemicu introspeksi, bukan ketakutan. Ini momentum untuk:
- Menata ulang manajemen usaha kuliner kecil
- Meningkatkan literasi hukum dan pajak
- Membuktikan bahwa rakyat kecil bisa sukses tanpa harus diseret isu korupsi
Karena yang sejatinya mencurigakan bukan omzet besar atau warung ramai, tapi ketika uang mengalir tanpa arah, usaha besar tanpa cerita, dan pertumbuhan cepat tanpa bukti.
Baca Juga : 10 Kesalahan Fatal dalam Berbisnis yang Harus Dihindari oleh Muslim