Pengalaman adalah guru yang terbaik begitu pepatah mengatakan. Dan hal tersebut juga berlaku untuk biofuel. Kegagalan di masa lalu jangan sampai terulang lagi, karena hanya orang bodoh yang terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali. Produksi biodiesel dari jarak pagar (jatropha curcas) telah ramai dikampanyekan hingga menjadi trending topic nasional waktu itu, tetapi faktanya biodiesel dari jarak pagar ini tidak ekonomis atau masih terlalu mahal sehingga programnya berhenti dengan sendirinya. Salah satu faktor tersebut adalah rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan dari biji jarak pagar yang hanya sekitar 25%, sedangkan nyamplung (calophyllum inophyllum L) mencapai rata-rata 50%. Apalagi produktivitas rata-rata perhektar jarak pagar rata-rata kurang dari 10 ton/hektar sedangkan nyamplung rata-rata mencapai lebih 10 ton/hektar. Dengan rendemen 50% tersebut dengan produktivitas perhektar mencapai misalnya 12 ton/hektar lebih maka minyak nyamplung yang dihasilkan atau 6 ton minyak per hektar maka kurang lebih sama seperti minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil), sehingga lebih ekonomis untuk diproduksi. Dengan rendemen sekitar 25% dengan produktivitas rata-rata 24 ton/hektar tandan buah segar maka akan dihasilkan 6 ton CPO sama seperti nyamplung. Padahal kelapa sawit juga tanaman penghasil minyak nabati terbesar sehingga minyak nyamplung juga tidak jauh dari kondisi tersebut bahkan melampauinya.
Biofuel dan khususnya biofuel dari minyak nabati ini tergolong bahan bakar karbon netral, karena berasal dari tumbuhan sebagai produk photosintesis yang membutuhkan CO2, sehingga ketika dibakar juga akan mengembalikan jumlah CO2 yang sama ke atmosfer. Penggunaan bahan bakar karbon netral sangat bermanfaat bagi atmosfer bumi sehingga meningkatkan gas rumah kaca yang meningkatkan suhu bumi. Ditinjau dari komposisi
minyak antara minyak jarak pagar, minyak nyamplung dan minyak sawit
juga hampir sama seperti tabel diatas. Memang kedua sumber biodiesel baik dari jarak pagar maupun nyamplung keduanya akan menjadi bahan bakar karbon netral atau lebih tepatnya bahan bakar cair karbon netral, tetapi faktor keekonomianlah akhirnya yang akan menentukan pada produksi komersialnya. Sedangkan dari kelompok bahan bakar padat karbon netral bisa kita dapati misalnya pada wood chip, wood pellet, dan cangkang sawit (palm kernel shell/PKS).
Keunggulan nyamplung secara spesifik sebagai bahan baku biodiesel adalah yang pertama, minyak nyamplung tidak berkompetisi dengan minyak pangan, yang kedua, tanaman nyamplung ini tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, regenerasi mudah, berbuah sepanjang tahun dan menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan termasuk dengan tanah dengan salinitas tinggi di sepanjang pantai. Ketiga, tanaman relatif mudah di budidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau tanaman campuran (mixed-culture), hal ini membuat sejumlah praktik agroforestry bisa dilakukan. Pada perkebunan sawit hal ini sangat sulit dilakukan, sehingga kita jumpai saat ini hampir semua perkebunan sawit adalah monokulture atau perkebunan tanaman sejenis. Keempat,hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi, dan kelima, tegakan tanaman nyamplung dapat bermanfaat sebagai pemecah angin (wind breaker) dan konservasi sepanjang pantai. Dengan kondisi tersebut peluang pengembangan nyamplung untuk biofuel semakin besar.