Profil Pengusaha Catur Jatiwaluyo

Krisis ekonomi 2008 menjadi titik balik menjadi pengusaha. Waktu itu dia sebenarnya sudah menduduki jabatan enak di Detpack. Perusahaan kemasan asal Australia, yang mempercayainya jadi country manager. Ceritanya semua karena rajukan dua temanya, yaitu Dillion Sutandar dan Philip Sumali. Mereka manawari Catur Jatiwaluyo kesempatan.
Pertama kali masuk, Catur ikut urunan senilai Rp.200 juta, dimana uangnya digunakan untuk membeli bahan baku. Untuk mesin produksi memanfaatkan mesin sang teman. Mesin yang kebetulan sudah vakum bekerja sejak 1998. Komposisi saham waktu yakni 30% saham miliknya. Sementara sisanya milik kedua temannya itu.
Bisnis bersama
Modal dikeluarkan Catur terbilang cukup banyak. Mulai dari modal uang sampai jaringan pelanggan buat usaha baru mereka. Tetapi lain cerita kalau soal impor, nah, inilah mungkin kelemahan Catur yakni di bidang ekspor. Mungkin dia punya banyak jaringan di lokal tetapi tidak soal luar negeri. Ini menjadi kendala diawal tetapi bisa terselesaikan berkat Dillon.
Dillon sendiri pernah bekerja di Detpack sama halnya Catur. Bedanya, dia kebagian menangani soal pasar ekspor, ketika Catur memang tidak memiliki jaringan pelanggan di luar. “Saya yang network -nya ada di lokal,” jelasnya. Memang diawal berdiri memang menggarap pasar lokal. Alasan utamanya karena sedang terjadi krisis ekonomi.
Tetapi berjalannya waktu, ada saatnya, perusahaan mereka pasti mengerjakan pasaran internasional. Catur sendiri cukup mengalami kesulitan ketika menangani pemasaran. Tetapi berkat fokus di mengerjakan pasar lokal, perusahaan dibawah kerja tim meraup pelanggan industri kemasan di dalam dan luar negeri. Ia tidak menampik bahwa mereka cepat berkembang.
“Saya ini sudah 11 tahun di industri yang sama, sebenarnya teman- teman sendiri yang bantuin,” jelas Catur merendah.
Pemasaran memang berhasil tetapi tidak mudah. Dia harus mampu berkeliling ke daerah- daerah. Ia rela menemui relasi bisnis satu per- satu. Istilahnya mungkin menjemput bola. Tahun 2012, ia bahkan belum bisa menembus pasar Surabaya, padahal disana lah pintu gerbang masuk ke pasar Jawa Timur.
Pemasaran lokal dikencarkan melalui aneka cara. Mulai cara menjemput bola ketika diperlukan. Dia agak sulit membangun kepercayaan pelanggan. Namun, dirinya pantang menyerah mendekati mereka, alhasil dia sukses melakukan branding. Bukti nyata lambat laun daerah- daerah mulai mempercayai perusahaan. Salah satnya datang dari Surabaya, Jawa Timur.
Padahal, seperti diceritakan diatas, tahun 2012 tidak ada sama sekali penjualan produk Paperocks. Hingga, ia menemukan perusahaan asal Surabaya tersebut. Di tahun 2013 bahkan penjualan bisa melonjak ketika ia telah masuk ke pasar lebih dalam. “Di 2013, penjualan setahun hampir Rp.2 miliar,” tuturnya.
Marketing sederhana
Cara terbaik menurutnya itu sederhana. Dia membawa sampel kemasan ke pelanggan baru mereka. Cuma saja, sebagai catatan, perusahaan sebelumnya telah berhasil menggaet perusahaan besar. Ia penuh percaya diri menyodorkan contoh kemasan Burger King dan Nestle. Nah, disetiap sample tersebut, ia menunjukan inilah buatan perusahaan Paperocks.
Dengan melihat logo mereka didepan mata, biasanya calon pelanggan akan langsung memesan. “Biasanya langsung ngomong harga,” jelas Catur.
Menurut Catur, marketing menggunakan sample produk sangatlah penting. Karena hampir semua calon pasti menanyakan hal tersebut. Lantaran pesanan dari lokal kebanyak UMKM maka jumlah pesanan terbilang itu sedikit. Tetapi Catur tetap menjalankan tugasnya meski dibawah batas order Paperocks. Siapa satu kelak mereka menjadi perusahaan besar, kan.
Pemesanan cup, contohnya, Paperocks sebenarnya membatasi pemesanan untuk 25.000 cup. Tetapi Catur membolehkan UMKM memesan diangka 5000 cup. Agar tidak tetap berjalan pesanan maka bisa diakali saja lewat partial delivery. Maksudnya Catur dan perusahaan cukup memproduksi di angka sama. Tetapi akan memberikan bertahap sejalan pembayaran.
“Ibaratnya dia menyimpan barang di gudang saya,” jelas Catur. Strategi marketing macam ini memang punya resiko tersendiri. Cuma Catur tetap menjalankan karena begitu keadaanya. Alhasil, dia meminta agar para sales lebih seksama selektif menyaring pelanggan. Karena UMKM bisa saja nanti malah gulung tikar dalam perjalanan pemesanan.
Kedepan sendiri tantangan sales akan semakin berat karena lahir banyak pesaing. Mereka para pemain baru di bisnis kemasan memberikan tekanan. Kendati beratnya, ia optimis perusahaannya bertahan berbisnis kemasan. Kunci sukses adalah tetap mempertahankan kualitas. Untuk menambah cakupan dibuka lah divisi baru, agar tidak cuma melayani kemasan makanan dan minuman saja.
“Apa yang ada di restoran, kafe dan bakery, harus bisa kita suplai,” jelas Catur. Ambisi memperbesa pangsa pasar benar ditekankan oleh sosok berkacamata ini.
Dia adalah presiden direktur PT. Paperocks Indonesia. Perusahaan kemasan kertas yang sudah beroperasi sejak 2011. Yang pusatnya ada di kawasan industri Newton Techopark, Lippo Cikarang, Paperocks yang sukses mamasok kemasan kertas dan plastik hampir ke 100 perusahaan.
Produknya meliputi gelas kertas, kertas pembungkus plastik, kotak kertas, mangkuk sop, gelas es krim, juga tatakan dan alasa makanan. Yah, hampir disetiap gerai makanan siap saji, tempat kafe yang telah menjamur di kota besar saat ini. Contoh perusahaan besar seperi Nestle, KFC, Burger King, merupakan pelanggan asing.
Untuk lokal banyak UMKM sudah menjadi pelanggan Paperocks. Seperti perusahaan Kopi Brontoseno dari Kediri. Meski begitu dari segi persentase penjualan masih relatif sama. Pasar ekspor meliputi ke Jerman dan Australia serta beberapa negara lain. Cara kerja ekspor yaitu produk dikirim terlebih dahulu ke para distributor di sana. Lantas distributor tinggal melanjutkan pengiriman ke perusahaan lain.
Hal terbaik selama menjalankan perusahaan: Dia bisa masuk ke maskapai penerbangan seperti Singapore Airlines dan Etihad Airways. Padahal, dia menjelaskan bahwa perusahaan penerbangan sulit buat dimasuki. “…itu ketat sekali,” jelasnya lagi.
Ia mengamati bahwa masyarakat luar lebih ke bungkus kertas. Berbeda masyarakat Indonesia yang masih nyaman menggunakan bungkus plastik. Modal pabrik seluas 5.000 meter persegi diharapkan bisa mencapai ekspansi lebih. Catur cuma bisa berharap keadaan ekonomi membaik. Maka jumlah usaha makanan dan minuman juga ikutan naik.
Omzet perusaah Catur telah mencapai Rp.18 miliar per- tahun. “Jika ditambah ekspor, omzet bisa mencapai angka Rp.40 miliar,” akunya. Permintaan kemasan sendiri masih meningkat signifikan. Catur masih yakin bisa mencapai pertumbuhan 40% sampai 50% per- tahun.