Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Keputusan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018 telah menetapkan ikan capungan
Banggai (Banggai cardinalfish) sebagai jenis dilindungi secara terbatas.
Perlindungan Banggai Cardinalfish (BCF) sebagaimana termuat dalam Kepmen KP
tersebut adalah perlindungan terbatas berdasarkan tempat dan waktu tertentu,
yakni hanya di wilayah Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan hanya pada bulan
Februari-Maret dan Oktober-November. Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi
LIPI yang menyebutkan bahwa pada bulan tersebut BCF mengalami puncak musim
pemijahan. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut,
Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, Senin (9/04).
Kelautan dan Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018 telah menetapkan ikan capungan
Banggai (Banggai cardinalfish) sebagai jenis dilindungi secara terbatas.
Perlindungan Banggai Cardinalfish (BCF) sebagaimana termuat dalam Kepmen KP
tersebut adalah perlindungan terbatas berdasarkan tempat dan waktu tertentu,
yakni hanya di wilayah Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah, dan hanya pada bulan
Februari-Maret dan Oktober-November. Hal ini sesuai dengan hasil rekomendasi
LIPI yang menyebutkan bahwa pada bulan tersebut BCF mengalami puncak musim
pemijahan. Demikian disampaikan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut,
Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, Senin (9/04).
BCF merupakan jenis ikan hias air laut endemik Indonesia. Ikan tersebut
pertama kali ditemukan di perairan laut Pulau Banggai pada tahun 1920.
Selanjutnya, diketahui bahwa penyebaran endemik sangat terbatas dan sebagian
besar berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut Provinsi Sulawesi
Tengah. Meskipun endemik, akibat pelepasan pada jalur pedagangan sebagai ikan
hias, populasi introduksi BCF telah dapat ditemukan di lokasi lainnya, antara
lain di perairan Luwuk, Bitung, Ambon, Kendari, Teluk Palu, dan Gilimanuk.
Namun, berdasarkan hasil penelitian, BCF di kepulauan Banggai memiliki struktur
genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas, dibanding jenis di luar
kepulauan Banggai.
pertama kali ditemukan di perairan laut Pulau Banggai pada tahun 1920.
Selanjutnya, diketahui bahwa penyebaran endemik sangat terbatas dan sebagian
besar berada di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut Provinsi Sulawesi
Tengah. Meskipun endemik, akibat pelepasan pada jalur pedagangan sebagai ikan
hias, populasi introduksi BCF telah dapat ditemukan di lokasi lainnya, antara
lain di perairan Luwuk, Bitung, Ambon, Kendari, Teluk Palu, dan Gilimanuk.
Namun, berdasarkan hasil penelitian, BCF di kepulauan Banggai memiliki struktur
genetika tertinggi dan memiliki corak warna yang khas, dibanding jenis di luar
kepulauan Banggai.
Perdagangan BCF sebagai ikan hias dan kerusakan mikrohabitat telah
mengakibatkan penurunan kepadatan populasi BCF di habitat alaminya. Lembaga
konservasi dunia (IUCN) telah memasukan BCF ke dalam daftar merah dengan
kategori spesies yang terancam punah (EN). Selanjutnya hasil COP CITES ke-17
telah membuat sebuah keputusan yang pada intinya mewajibkan Indonesia untuk
mengimplementasikan upaya konservasi dan pengelolaan untuk memastikan
perdagangan internasional dapat dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip yang
berkelanjutan serta melaporkan kemajuan dari upaya yang telah dilakukan pada
pertemuan ke-30 Animal Committee CITES, pada tahun 2018.
mengakibatkan penurunan kepadatan populasi BCF di habitat alaminya. Lembaga
konservasi dunia (IUCN) telah memasukan BCF ke dalam daftar merah dengan
kategori spesies yang terancam punah (EN). Selanjutnya hasil COP CITES ke-17
telah membuat sebuah keputusan yang pada intinya mewajibkan Indonesia untuk
mengimplementasikan upaya konservasi dan pengelolaan untuk memastikan
perdagangan internasional dapat dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip yang
berkelanjutan serta melaporkan kemajuan dari upaya yang telah dilakukan pada
pertemuan ke-30 Animal Committee CITES, pada tahun 2018.
Brahmantya menegaskan, keluarnya Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018, sebagai bentuk komitmen KKP untuk mengelola
ikan endemik Indonesia melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan.
“Selain untuk menjaga kepentingan keberlanjutan kegiatan perikanan nasional,
juga sebagai bukti bahwa Indonesia berkomitmen dalam menjaga sumberdaya hayati
dan lingkungannya agar BCF ini dapat dimanfaatkan secara lestari sampai ke
generasi berikutnya”, tegasnya.
Perikanan Nomor: 49/KEPMEN-KP/2018, sebagai bentuk komitmen KKP untuk mengelola
ikan endemik Indonesia melalui kaidah-kaidah pengelolaan secara berkelanjutan.
“Selain untuk menjaga kepentingan keberlanjutan kegiatan perikanan nasional,
juga sebagai bukti bahwa Indonesia berkomitmen dalam menjaga sumberdaya hayati
dan lingkungannya agar BCF ini dapat dimanfaatkan secara lestari sampai ke
generasi berikutnya”, tegasnya.
Melanjutkan pernyataan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut,
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Andi Rusandi menambahkan
bahwa BCF hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon, sehingga upaya
pengelolaannya perlu dilakukan secara terintegrasi. Beliau juga menyampaikan
pentingnya perlindungan mikrohabitat BCF melalui pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan Daerah.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Andi Rusandi menambahkan
bahwa BCF hidup berasosiasi dengan bulu babi dan anemon, sehingga upaya
pengelolaannya perlu dilakukan secara terintegrasi. Beliau juga menyampaikan
pentingnya perlindungan mikrohabitat BCF melalui pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan Daerah.
Dukungan Pemda
Menurut Andi, dukungan pemerintah daerah dalam upaya perlindungan BCF,
sangat besar pengaruhnya. Belum lama ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah
telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil
(KKP3K) Daerah Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten
Banggai Laut (disingkat KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA) dengan luas kawasan
mencapai 869.059,94 ha. Dalam waktu dekat, KKP bersama Pemprov Sulteng
berkomitmen menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKP3K Daerah
BANGGAI DALAKA sebagai acuan bagi pengelola dakam melaksanakan kegiatan
perlindungan, peestarian, pemulihan, pemanfaatan (berkelanjutan) sumber daya
kelautan dan perikanan, dalam konteks siklus pengelolaan adaptif, agar
target-target pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai”. tutupnya.
(humas_djprl)
sangat besar pengaruhnya. Belum lama ini Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah
telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil
(KKP3K) Daerah Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Kepulauan, dan Kabupaten
Banggai Laut (disingkat KKP3K Daerah BANGGAI DALAKA) dengan luas kawasan
mencapai 869.059,94 ha. Dalam waktu dekat, KKP bersama Pemprov Sulteng
berkomitmen menyelesaikan penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKP3K Daerah
BANGGAI DALAKA sebagai acuan bagi pengelola dakam melaksanakan kegiatan
perlindungan, peestarian, pemulihan, pemanfaatan (berkelanjutan) sumber daya
kelautan dan perikanan, dalam konteks siklus pengelolaan adaptif, agar
target-target pengelolaan kawasan konservasi dapat tercapai”. tutupnya.
(humas_djprl)
sumber info ada di http://news.kkp.go.id/