Pada dasarnya kampanye penyelamatan kebun kelapa (tree of life)
adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak
terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk
menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan
(sustainable).
Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan
menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan
produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam
kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.
adalah menghidupkan industri kelapa terpadu. Rusak dan tidak
terpeliharanya perkebunan kelapa akibat tidak adanya pendanaan untuk
menjaga, merawat dan mengembangkannya secara berkelanjutan
(sustainable).
Bioeconomy didefinisikan sebagai produksi berbasis pengetahuan dan
menggunakan sumberdaya biologi atau makhluk hidup untuk menghasilkan
produk-produk, proses-proses, dan jasa-jasa pada sektor ekonomi dalam
kerangka sistem ekonomi berkelanjutan.
Hampir semua produsen arang tradisional telah membuang energi cukup besar pada proses pengarangan (karbonisasi) yang dilakukan. Mengapa demikian ? Bukankah energi sangat dibutuhkan pada hampir semua industri bahkan dalam sejumlah industri, energi adalah komponen biaya tertingginya? Selain tidak efisien, bukankah itu sama saja membuang uang secara sia-sia? Hal tersebut karena pada produksi arang dengan konversi berkisar 25% maka lebih separuh terbuang percuma. Sebagai ilustrasi seperti hitungan berikut. Sebagai contoh kita ambil konversi 25%, dengan bahan baku 10 ton tempurung kelapa maka dihasilkan 2,5 ton arang. Tempurung kelapa dengan nilai kalor sekitar 4.500 kkal/kg, berarti 10 ton bahan baku berjumlah 45.000.000 kkal. Sedangkan arang tempurung kelapa dengan nilai kalor sekitar 8.000 kkal/kg, maka 2,5 ton arang akan memiliki nilai kalor 20.000.000 kkal/kg. Berdasarkan perhitungan tersebut lebih dari 50% energi hilang atau hanya terbuang percuma, yakni 25.000.000 kkal. Jika konversi ke arang lebih rendah atau 20% maka kehilangan energi lebih besar lagi yakni 29.000.000 kkal atau lebih dari 60%nya. Tentu saja sangat tidak efisien dan pemborosan yang nyata.
Apabila energi tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal maka tentu saja industri tersebut menjadi efisien dan kompetitif. Pada industri kelapa dimana semua bagiannya bisa dimanfaatkan, maka hal tersebut menjadi sangat menarik. Hal tersebut karena kelebihan energi atau energi yang sebelumnya hanya dibuang tersebut bisa digunakan lagi untuk pengolahan produk berikutnya atau istilahnya pemanfaatan panas limbah (waste heat recovery). Produksi kopra putih dan nata de coco bisa memanfaatkan limbah panas tersebut sehingga tidak lagi membutuhkan pasokan energi dari luar. Dengan konsep tersebut maka ada tiga produk yang didapat yakni arang tempurung kelapa, kopra putih dan nata de coco.
Penggunaan arang tempurung kelapa yakni bisa sebagai bahan bakar langsung, maupun diolah lanjut menjadi briket atau arang aktif. Selain digunakan di dalam negeri atau pasar lokal, arang tempurung kelapa juga merupakan komoditas export. Tercatat nilai eksport arang tempurung kelapa Indonesia mencapai 250 ribu ton/tahun, sedangkan dengan dibuat briket dan arang arang aktif maka akan didapat nilai tambah yang lebih besar. Export briket arang tempurung kelapa mencapai sekitar sekitar 20 ribu ton/tahun sedangkan arang aktif masih relatif rendah yakni 25 ribu ton/tahun padahal memberi nilai tambah paling tinggi. Sedangkan kopra putih adalah bahan baku untuk pembuatan minyak kelapa dan untuk export tujuan utama adalah India dan Bangladesh. Pada masa jayanya, Indonesia pernah menjadi exportir kopra terbesar di dunia. Seiring menurunnya penggunaan minyak kelapa maka export kopra juga menurun. Export kopra putih dunia tercatat 137 ribu ton pada tahun 2013 (APCC-Coconut Statistical Yearbook, 2013) dengan total nilai lebih dari 2 trilyun rupiah. Sedangkan nata de coco pada umumnya pembuatan minuman kemasan dan banyak produknya bisa ditemui diberbagai toko hingga supermarket. Kebutuhan nata de coco cenderung meningkat seiring populasi penduduk atau lebih spesifik lagi sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang mencapai diatas 8% setiap tahun. Diperkirakan nilai bisnis untuk nata de coco nasional bisa mencapai mencapai 1,6 trilyun rupiah, apabila dikelola dengan baik.
Karbonisasi Tradisional yang Menimbulkan Banyak Polusi |
Integrasi Produksi Arang Tempurung, Kopra Putih dan Nata de Coco |
Pada proses karbonisasi (pyrolysis) yang merupakan oksidasi parsial dengan udara yang dibatasi bahkan tanpa udara sama sekali akan dihasilkan sejumlah gas. Dan karena bukan proses pembakaran sempurna maka gas tersebut bukan CO2 dan H2O saja tetapi sejumlah gas yang bisa terbakar (combustible gas) dan juga bisa digunakan sebagai bahan bakar. Pada proses produksi kopra, perlu dilakukan proses pengeringan dari kadar air sekitar 50% hingga 5% dengan pemanasan tidak langsung (indirect heating) maka gas yang dihasilkan dari proses karbonisasi (pyrolysis) tersebut bisa digunakan sebagai sumber energinya. Demikian juga energi tersebut juga bisa digunakan untuk memasak air kelapa yang digunakan untuk produksi nata de coco. Dan apabila nata de coco tersebut diolah lanjut menjadi berbagai minuman kemasan paling sedikit perlu dimasak 3 kali untuk pengotornya dan melunakkan seratnya. Proses pemasakan tersebut juga membutuhkan energi dan gas dari karbonisasi tersebut sebagai sumber energinya. Dengan meminimalkan biaya energi tersebut maka biaya produksi bisa ditekan dan keuntungan usaha bertambah. Bagi yang tertarik mengaplikasikan konsep diatas silahkan kontak kami di cakbentra@gmail.com