Dalam pasar minyak nabati, terdapat 4 jenis minyak nabati yang banyak dikonsumsi di seluruh dunia yaitu minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak sawit dan minyak rapeseed. Berdasarkan data USDA (2018) secara total luas area 4 tanaman penghasil minyak nabati tersebut pada tahun 2017 adalah sekitar 208 juta hektar. Kebun kedelai memiliki proporsi luas areal terbesar yaitu 126 juta hektar (61 persen), sedangkan luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 21 juta hektar (10 persen). Namun dengan luas areal 126 juta hektar, kedelai hanya mampu menghasilkan minyak 56 juta ton atau hanya 32 persen dari produksi 4 minyak nabati utama dunia. Sebaliknya kelapa sawit dengan areal seluas 21 juta hektar mampu menghasilkan 73 juta ton atau 42 persen dari produksi 4 minyak nabati utama dunia.
Tingginya tingkat produksi minyak sawit diperoleh dari produktivitas minyak perkebunan sawit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dibandingkan produktivias tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Menurut Oil World (2018), rata-rata produktvitas kelapa sawit yaitu 4,27 ton/hektar, sementara produktivitas tanaman penghasil minyak nabati lainnya hanya 0,4 – 0,6 ton/ha. Produktivitas minyak kelapa sawit jauh lebih tinggi sekitar 8-10 kali lipat dibandingkan jenis lainnya menjadikan kelapa sawit memiliki keunggulan komparatif dibanding minyak nabati lainnya. Keunggulan komparatif ini dapat dimaknai penghematan deforestasi di berbagai kawasan dunia apabila minyak sawit dikonsumsi oleh masyarakat global atau untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama lahan yang dibutuhkan kelapa sawit 8-10 kali lebih kecil dibandingkan tanaman lainnya.
Dengan produktivitas minyak sawit per tahun rata-rata 4,27 ton/hektar atau 17 ton TBS/tahun, sebenarnya hal ini masih cukup rendah dan bisa dinaikkan produktivitasnya hingga mencapai sekitar 30 ton TBS/hektar atau menghasilkan minyak 7,5 ton/hektar. Meningkatkan produktivitas sawit tersebut terutama dengan meningkatkan kesuburan tanahnya sehingga efisiensi pemupukan meningkat. Pupuk lepas lambat (slow release fertilizer) adalah pupuk yang efisien sehingga hemat secara ekonomi dan ramah lingkungan. Selain itu dengan penggunaan biochar, selain sebagai agen lepas lambat pada pupuk tersebut juga akan memperbaiki kualitas atau kesuburan tanah yakni dengan meningkatkan porositas tanah, menyediakan karbon organik, menaikkan pH tanah, menahan air dan hara sehingga lebih tersedia bagi tanaman dan sebagai media untuk koloni mikroba tanah. Dengan peningkatan produktivitas sawit tersebut, diikuti penghematan pupuk karena efisiensi meningkat, meminimalisir pencemaran lingkungan sehingga biaya produksi bisa ditekan, berarti telah setara meningkatkan efisiensi lahan 76%. Artinya dengan produktivitas sawit per tahun 30 ton TBS/hektar, atau 7,5 ton/hektar dan apabila dibandingkan dengan dengan nabati lainnya 15 kali lipat lebih hemat lahan atau untuk per ton minyak sawit butuh 0,13 hektar sedangkan minyak nabati lainnya membutuhkan lahan 2 ha.
Solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink juga sekaligus bisa dilakukan dengan aplikasi biochar tersebut. Setiap 1 ton biochar akan menyimpan atau mengurangi CO2 (karbondioksida) di atmosfer sebanyak kurang lebih 3 ton. Carbon credit dari aplikasi biochar tersebut menjadi penghasilan tambahan yang cukup besar selain dari efisiensi pupuk dan peningkatan produktivitas panen termasuk hasil minyak sawitnya. Apalagi nilai carbon credit juga cenderung naik dan mekanisme carbon (CO2) removal dengan biochar akan menjadi trend di masa depan. Besarnya pendapatan dari carbon credit sebanding dengan jumlah aplikasi biochar di perkebunan sawit tersebut yang juga akan sebanding dengan luasan perkebunan sawitnya.
Luasan perkebunan sawit berkisar ribuan hingga puluhan ribu hektar yang dimiliki oleh suatu perusahaan adalah hal yang banyak ditemui di Indonesia. Hal ini mengindikasikan tentang potensi bisnis yang bisa dilakukan. Dengan luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai sekitar 15 juta hektar saat ini, sebanyak 40% (6 juta hektar) adalah perkebunan rakyat sehingga luas perkebunan perusahaan 60% (9 juta hektar) yang terbagi menjadi dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%), untuk lebih detail baca disini. Pohon atau tanaman sawit sendiri hanya bisa berproduksi dengan baik pada daerah tropis karena faktor Suhu berpengaruh pada produksi melalui laju reaksi biokimia dan generative dalam tubuh tanaman. Sampai batas tertentu, suhu yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya produksi buah. Suhu 20 C disebut sebagai batas minimum bagi pertumbuhan generative dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-23 C diperlukan untuk berlangsungnya produksi buah. Hal itulah mengapa tidak semua lokasi di bumi dapat dibudidayakan sawit padahal produktivitas minyaknya terbesar dibanding tanaman lainnya, sehingga menjadi keunggulan komparatif tersendiri.
Sedangkan dari teknologi produksi biochar, juga dimungkinkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar padat seperti cangkang sawit yang biasa digunakan pada boiler di pabrik sawit. Cangkang sawit yang merupakan bahan bakar biomasa dan digunakan sebagai bahan bakar boiler di pabrik sawit selain fiber (mesocarp fiber), selanjutnya bisa langsung baik untuk pasar dalam negeri (lokal) maupun pasar internasional (export). Cangkang sawit tersebut juga bisa diolah lanjut menjadi arang maupun arang aktif (activated carbon). Penggunaan energi dari teknologi produksi biochar (pirolisis) tersebut juga akan meningkatkan efisiensi boiler pada pabrik sawit, selain penghasilan tambahan dari penjualan cangkang sawit atau pengolahan lanjutannya. Menjadi trendsetter produsen minyak nabati dunia sangat mungkin dilakukan berdasarkan sejumlah alasan tersebut di atas. Dengan kondisi Indonesia saar ini khususnya, ataupun negara-negara produsen minyak sawit lainnya, dengan sedikit improvement, sangat mungkin dilakukan. Apalagi industri sawit menghasilkan sangat banyak limbah biomasa yang sangat potensial sebagai bahan baku biochar.