Profil Pengusaha Wing Mahareny

Seorang notaris yang mendadak menjadi pengusaha. Apalagi dia menjadi pengusaha garmen. Uniknya ya karena dia sama sekali tidak bisa menjahit. Kesempatan itulah Wing Mahareny Yudiati lihat ketika melihat bisnis sarung tangan. Walaupun tidak bisa menjahit, dia tetap “paksakan” menjadi pengusaha dengan segala suka- duka.
Tugasnya menyuplai buat kebutuhan perusahaan lain. Dia membuat lalu dilabeli sendiri orang lain. Dimana ada perusahaan asal Korea, batal investasi di Indonesia. Perusahaan Korea batal membangun pabrik di Magelang. Tetapi sudah terlanjur melatih 150 tenaga kerja lokal.
Semua karena Gunung Merapi meletus di 2010. Padahal mesin juga sudah berdatangan siap pakai. Disisi lain, bisnis Wing lumayan, menyetok tiga perusahaan melebeli produksi Wing sendiri. Ketika dia ditawari kerja sama sang pengusaha asal Korea. Tinggal menyiapkan tempat buat berproduksi dan ia sanggupi itu.
Bisnis peruntungan
Inilah yang membuat karyawan Wing susah. Mereka merasa kurang nyaman karena ada tekanan. Terutama jika ada pesanan besar membutuhkan target waktu. Mereka belum terbiasa. Apalagi ditambah soal tempat tinggal yang jauh dari tempat produksi. Butuh waktu naik angkot, lebih banyak uang habis buat ongkos.
Ujung- ujungnya beberapa pegawai mengompori. Mereka mengajak teman buat keluar perusahaan. Ini jadi beban produksi karena butuh orang baru. Kemudian masalah pegawai lain dari orang dekat Wing yang ikut dipekerjakan. Karena merasa dekat secara pribadi, kebanyakan bermuka tetapi kerja nol.
Masalah lain umur pegawai, ya, karena pegawai kebanyakan perempuan umuran 15- 18 tahun. Kan kalau sudah saatnya ada cuti nikah, cuti hamil, kalau sudah begitu susah dipaksa bekerja lagi. Mangkanya dia banyak bongkar pasang pegawai. Susah mempekerjakan pegawai dari nol lagi, tetapi mau bagaimana lagi.
Sukses belajar mengenai manajemen otodidak. Ia menerapkan pegawai hanya bekerja satu pekerjaan. Jadi yang mengerjakan pola satu tugas, tidak dari semua pola sampai jadi dikerjakan pegawai. Pokoknya satu orang mempunya satu kerjaan yang harus diselesaikan. Ada khusus memotong, menjahit luar, variasi dan sebagainya.
Kacau, padahal belum balik modal, padahal dia beru merenovasi bangunan biar bisa memenuhi kebutuhan perusahaan Korea tersebut. Sampai sempat putus asa menyerah akan keadaan. Dua tahun awal bisnis itu dianggap paling emosional. Alhasil berefek hubungan dengan karyawan, manajemen, dan hasil produksi.
Setelah bongkar- pasang pegawai, akhirnya, Wing mendapatkan tim solid bekerja bersama. Ujungnya ya ia mampu memproduksi lebih banyak sarung tangan cantik. Ia menerapkan quality control ketat. Wing cari pegawai dari desa- desa, mereka perempuan yang tidak memiliki pekerjaan tetap, mereka dididik jahit.
Prinsipnya mereka mau kerja diberi pelatihan. Bahkan ia rela mengirimkan mesin jahit ke desa. Mulai lah sistem tersebut berkembang. Dimana perempuan desa dilatih, kemudian desanya dijadikan Wing tempat produksi, ada dua yaitu di Kecamatan Kajoran dan Kecamatan Grabag di Kabupaten Magelang.
“…dan satu lagi tempat produksi di rumah saya,” tuturnya.
Kenapa memecah pusat produksi, ternyata ada alasan tertentu, lantaran bagaimana membuat mereka bisa bekerja dekat rumah. Urusan emosi memang wanita lebih rentan. Untuk kendali Wing sudah memiliki sosok tangan kanan.Tidak ada kerja sistem kontrak, mau kerja ya kerja, kalau keluar sudah punya skill.
Bisnis harus kuat
Kenapa bisnis garmen selalu menggunakan perempuan. Dasarnya perempuan telaten, sabar, dan persaaan halus, tentu terbawa ke produk mereka ciptakan. Kalau dikerjakan tangan kasar nanti lekas rusak. Ibarat dia karakter seseorang terlihat dari sentuhan di mesin jahit.
Oleh karenanya, pegawai tidak boleh pindah mesin jahit, satu mesin hanya diperuntukan khusus buat si pemegang sejak awal.
Pasar Wing adalah perusahaan di Korea, mereka bisa meminta label dipasang disini. Lalu perusahaan itu akan ekspor ke Eropa, atau negara bermusim empat lain. Katanya sih dijual di mal- mal besar karena dia memang buat sarung tangan musim dingin.
Si perusahaan Kore akan menjual ke berbagai perusahaan besar, seperti ada Adidas, Nike, dan Sanrio yang punya hak cipta Pororo. Adapula perusahaan alat olah raga lain, Eagle, menawarkan kerja sama langsung buat konsep sarung tangan. Wing becerita konsep sangat bagus, tetapi lebih rumit bila nanti dikerjakan.
Untuk sekarang ini, Wing merasa sangat beresiko, daripada nanti terlalu banyak reject. “…lebih baik saya tolak.” Ada 10 jenis sarung tangan dan dikerjakan bertema permusim. Produksi juga mengikuti musimnya, contoh dikerjakan bulan Januari, maka dikerjakan 2- 3 bulan sebelumnya agar sesuai musim dinginnya.
Setiap sarung tangan memiliki perbedaan, baik bahan, material, dan kebutuhan pasar. Apalagi sekarang dia tidak lagi cuma memproduksi sarung tangan musim dingin umum. Kan ada sarung tangan golf, ski, atau aktifitas lainnya, yang tentu bahan berbeda, ada lycra, parasut, dan sebagainya.
Mesin jahit juga disesuaikan bahan. Jika tidak, ketika pergantian kain, satu jenis mesin jahit malah bikin mesin macet, jahitan benang ruwet, lompat- lompat, dan sebagainya. Mangkanya mesin jahit harus beda juga termasuk soal jarum. Pokoknya satu mesin jahit hanya dikerjakan oleh satu pegawai ahlinya saja.
Setiap bulan dia memproduksi lebih dari 5000 pasang. Pesanan tergantung musimnya, contoh lebih detail, sarung tangan golf pada bulan Januari- April, kemudian bulan Mei- Juli ada pesanan dari perusahaan sepatu boot asal Finlandia. Harga jualnya misal sarung tangan anak Pororo harganya mencapai Rp.400 ribu.
Perusahaan sendiri memang tidak menarget produksi besar. Pasalnya melihat pengalaman lebih baik kecil tetapi tetap dan bagus kualitasnya. Sesuaikan dengan jumlah karyawan 60 orang dan 75 mesin jahit, kira- kira bisa berproduksi 5- 6 ribuan lah.
Ternyata sepanjang perjalanan tidak semulus kelihatan. Kerja sama dengan perusahaan Korea sudah tidak lagi. Lantaran makin ke sini, pengiriman bahan makin berkurang dan terlambat, eh ternyata perusahaan itu sudah punya cabang lagi di Yogyakarta. Memotong uang sebagian tidak sesuai kontrak pertama mereka.
Sempat memegang 2- 3 pesanan dari perusahaan berbeda. Kini dia lebih nyaman fokus satu perusahaan rekanan. Untung dia menemukan perusahaan yang sesuai, jadi mereka kerja sama sudah empat tahun jalan, keduanya juga fokus membuka usaha bersama di Yogyakarta.
Wing sendiri ketika ditanya mau gak bikin merek sendiri. Kepada Tabloid Nova, dia memang ingin sekali menjual langsung ke pembeli. Dia juga melihat bagaimana beberapa pegawai masih dibawah UMR. Dia ingin sekali menjual tanpa perantara. Mungkin dengan meningkatkan kualitas produksi dan menjajal pasar lokal.
Memang kalau dijual buat lokal susah. Apalagi bahan baku impor, termasuk bulu dombanya, mangkanya tidak salah jika harga jual dikisaran Rp.400 ribuan. Oleh karena itu, untuk pasar lokal, Wing tengah hitung- hitungan biar produknya bisa diminati siapa saja. Yang jelas menurut Wing sumber daya manusia utama!
Selain menjadi pengusaha, ternyata Wing masih kerja menjadi notaris sejak 2005, dan juga pernah jadi anggota DPRD. Kegiatan lain menjadi semacam pelestari manian tradisional lewat sebuah komunitas di Magelang. Mengurus pegawai sudah jadi biasa, dulu, dia pernah bekerja di Salim Group pada 1991 -an.