
pembahasan inti bagi suatu usaha perkebunan besar. Hal ini sangat wajar karena
menjaga produktivitas hasil panen hanya bisa dilakukan dengan menjaga kesuburan
tanah atau memberi pupuk yang memadai. Untuk itu anggaran biaya penyediaan
pupuk tersebut selalu mengambil porsi besar pada usaha perkebunan tersebut.
Lalu kondisi tersebut mengarah pada pertanyaan bagaimana caranya melakukan
efisiensi atau penghematan anggaran pupuk tersebut ? Tentu banyak teknik bisa
digunakan untuk maksud tersebut, tetapi pada dasarnya pemilihan atau penggunaan
pupuk yang sesuai dan efektifitas atau keterserapan pupuk bagi tanaman, menjadi
faktor kunci keberhasilan menjaga kesuburan tanah tersebut. Mari kita coba
menjawab pertanyaan pokok diatas.
merusak lingkungan, maka tidak ada pilihan lain selain menggunakan pupuk
organik. Pada perkebunan besar seperti perkebunan sawit pada dasarnya juga
banyak limbah biomasanya dari pabrik sawit yang bisa dijadikan pupuk, misalnya
pelepah dan batang sawit. Tetapi ketika bahan-bahan tersebut juga diolah untuk
menjadi produk tertentu, dan juga proses pengomposan jenis kayu berserat
tersebut memakan waktu lama, maka pilihan terbaiknya adalah dengan pupuk
organik kotoran ternak. Pertanyaannya adalah darimana mendapatkan pupuk kompos
kotoran ternak untuk kebun sawit tersebut? Sebenarnya ada lagi sumber pupuk
organik atau kompos yang bisa dihasilkan dari limbah pabrik sawit yakni dari
limbah cairnya. Apabila pabrik sawit tersebut memiliki unit biogas (anaerobic
digester) maka residue biogas tersebut yakni dari sludge-nya bisa sebagai pupuk
organik. Saat ini belum banyak pabrik sawit yang mengolah limbah cairnya dengan
unit biogas tersebut, dengan alasan unit tersebut dirasa mahal.
Sejarah dan pengalaman pendahulu kita sebelum penggunaan pupuk
kimia bisa dijadikan acuan hal tersebut. Mereka saat itu untuk bisa mencukupi
kebutuhan pupuk dari usaha pertaniannya yakni dengan beternak baik domba,
kambing, sapi, maupun kerbau. Kotoran ternak-ternak tersebut digunakan untuk
pupuk pertaniannya dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak
tersebut. Pola dasar tersebut juga bisa dikembangkan untuk perkebunan besar
dengan beberapa teknik penyesuaian untuk meningkatkan efisiensinya. Teknis
aplikasi di lapangan yang bisa dilakukan yakni perkebunan besar harus
bekerjasama dengan peternakan besar atau bahkan idealnya memiliki peternakan
besar tersebut untuk mencukupi kebutuhan pupuk untuk perkebunannya. Sebagai
contoh perkebunan sawit yang memiliki luas kebun 2000 hektar maka 100-200
(10-20%) hektar digunakan untuk peternakan domba. Peternakan domba tersebut,
bukan dengan dikandangkan saja, tetapi digembalakkan pada padang-padang
gembalaan.

gembalaan? Hal ini karena dengan penggembalaan biaya pakan bisa ditekan dengan
sangat besar atau usaha tersebut menjadi sangat ekonomis. Komponen biaya
terbesar dari usaha peternakan adalah pakan. Apabila ketersediaan dan pasokan
pakan telah bisa diatasi maka komponen lainnya menjadi lebih mudah. Padang
gembalaan tersebut berupa rerumputan dan pohon-pohon peneduh. Membuat rumput
selalu tersedia adalah esensi bagi usaha tersebut, bahkan bisa dikatakan padang
gembalaan adalah adalah pertanian rumput itu sendiri. Teknik penggembalaan
rotasi (rotation grazing) adalah teknik penggembalaan terbaik saat ini, untuk
lebih detail bisa dibaca disini. Ketika rumput-rumput dipupuk dengan kotoran
domba sewaktu penggembalaan tersebut, kotoran yang dihasilkan ketika di kandang
bisa digunakan untuk pupuk pada perkebunan besar seperti sawit tersebut. Unit
biogas bisa digunakan untuk optimalisasi pemanfaatan kotoran dari kandang
tersebut.

sendiri dan juga menguntungkan. Oleh karena itu peternakan domba tersebut bisa
dikerjakan terpisah. Dalam kasus ketika suatu kebun energi digunakan untuk
produksi wood pellet masih terkendala berbagai hal seperti keberadaan dan
pasokan listrik maka usaha peternakan tersebut tetap bisa dijalankan dengan
baik. Produksi wood pellet skala besar di berbagai daerah di Indonesia saat ini
masih banyak terkendala akibat pasokan listrik tersebut. Hal ini tentu akan
menghambat pertumbuhan industri wood pellet tersebut sehingga perlu ada cara
lain untuk mengatasi hal ini, yang insyaAllah akan dibahas lain waktu.


Dengan konsep tersebut membuat tidak hanya meningkatkan produksi
perkebunan dan daging tetapi juga bisnis yang lengkap siklus tertutup yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Peternakan lebah madu juga
bisa ditambahkan untuk optimalisasi karena jelas lebah-lebah tersebut selain
membantu proses penyerbukan juga akan menghasilkan madu, produk unggulan
bernilai ekonomi tinggi. Berbagai masalah pangan insyaAllah bisa diatasi dengan
konsep tersebut. Hal ini karena dari sisi produksi bisa dibuat sangat efisien dengan
2 komponen biaya terbesar bisa direduksi dengan sangat signifikan yakni pupuk
dan pakan ternak dengan integrasi perkebunan besar dan peternakan besar
tersebut.

Walaupun telah menggunakan pupuk kompos dari kotoran ternak, masih
ada lagi teknik yang bisa diterapkan untuk meningkatkan efisiensi pemupukan
yakni dengan penggunaan biochar. Dengan biochar, pupuk akan ditahan dalam
pori-pori biochar sehingga menjadi lepas lambat (slow release fertilizer) menjadikannya
efektif untuk pemupukan. Selain itu biochar juga akan menahan pupuk tersebut
dari pencucian (leaching) akibat curah hujan tinggi, sehingga pemakaian pupuk
juga bisa dihemat secara signifikan. Biochar juga akan menjadi rumah mikroba
untuk menguraikan bahan organik menjadi nutrisi yang dibutuhkan bagi tanaman.
Sehingga singkat kata dengan biochar tersebut produktivitas perkebunan tinggi
tetapi pemakaian pupuk minimal karena efisien apalagi pupuk dihasilkan dari
peternakan sendiri juga. Biochar ini bisa dihasilkan dengan pengolahan
limbah-limbah biomasa perkebunan tersebut dengan pirolisis. Untuk lebih detail
tentang pirolisis bisa dibaca disini.


