
#Pugur – Memiliki #Hunian sendiri adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Di tengah mahalnya harga tanah dan hunian di kota-kota besar #Indonesia, program #perumahan #subsidi hadir sebagai angin segar bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. Namun, seiring waktu, banyak yang mempertanyakan: benarkah #PerumahanSubsidi menjadi #solusi nyata, atau justru hanya sebatas #ilusi?
Program perumahan subsidi yang digagas pemerintah sejatinya bertujuan mulia: menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi rakyat kecil. Namun implementasi di lapangan menunjukkan berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan lokasi, kualitas bangunan yang diragukan, hingga proses birokrasi yang berbelit.
Baca Juga : 3 Tipe Rumah Idaman Anak Muda: Gaya, Fungsi, dan Budget yang Pas
Visi Mulia di Atas Kertas
Pemerintah melalui Kementerian PUPR meluncurkan program perumahan subsidi dengan berbagai skema, antara lain FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), SSB (Subsidi Selisih Bunga), dan SBUM (Subsidi Bantuan Uang Muka). Dengan bunga tetap sekitar 5% dan tenor hingga 20 tahun, masyarakat berpenghasilan rendah diharapkan dapat membeli rumah tanpa harus membayar mahal.
Target utama dari program ini adalah kelompok MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) yang sering kali tidak memiliki akses ke perumahan komersial. Dengan harga rumah subsidi yang ditentukan pemerintah (misalnya di kisaran Rp150–Rp200 jutaan), program ini seolah menjadi jalan keluar dari persoalan backlog perumahan nasional yang mencapai lebih dari 12 juta unit.
Namun, apakah benar semua berjalan sesuai rencana?
Lokasi: Terjangkau, Tapi Jauh
Salah satu tantangan terbesar dari perumahan subsidi adalah lokasinya yang berada sangat jauh dari pusat kota. Karena harga tanah yang mahal di wilayah perkotaan, pengembang hanya mampu membangun rumah subsidi di daerah-daerah pinggiran, bahkan beberapa di antaranya masuk wilayah kabupaten yang membutuhkan waktu tempuh hingga 2–3 jam ke pusat kota.
Akibatnya, masyarakat yang bekerja di kota besar harus mengorbankan waktu dan biaya transportasi yang besar setiap hari. Sebagian bahkan akhirnya meninggalkan rumah subsidi mereka karena tidak tahan dengan jauhnya lokasi. Tidak sedikit pula yang menyewakan rumah tersebut kepada orang lain, atau menjualnya secara tidak sah, meskipun dilarang oleh aturan pemerintah selama 5 tahun pertama.
Kualitas Bangunan yang Dipertanyakan
Masalah lain yang sering dikeluhkan adalah kualitas bangunan perumahan subsidi. Karena pengembang harus menyesuaikan harga jual dengan batasan yang telah ditentukan, mereka sering kali mengurangi kualitas material bangunan. Rumah subsidi banyak yang hanya menggunakan batako tipis, genteng murahan, hingga instalasi listrik dan air yang tidak rapi.
Tidak sedikit pembeli yang mengeluhkan dinding yang cepat retak, atap bocor, saluran air tersumbat, bahkan plafon ambruk hanya dalam hitungan bulan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah rumah subsidi benar-benar layak huni, atau hanya menjadi formalitas untuk mengejar angka program pemerintah?
Birokrasi dan Syarat yang Menyulitkan
Meskipun ditujukan untuk masyarakat kecil, proses untuk mendapatkan rumah subsidi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
- Penghasilan maksimal Rp8 juta per bulan (untuk rumah tapak atau susun).
- Belum pernah memiliki rumah sebelumnya.
- Belum pernah menerima subsidi rumah dari pemerintah.
- Memiliki NPWP dan SPT tahunan.
Bagi masyarakat informal seperti pedagang kecil, buruh lepas, atau pekerja non-formal, syarat administratif ini menjadi kendala tersendiri. Mereka kesulitan membuktikan pendapatan tetap dan riwayat pajak, sehingga akhirnya tidak lolos verifikasi bank.
Di sisi lain, proses administrasi yang rumit dan lambat juga membuat banyak calon pembeli frustrasi. Mulai dari pengurusan berkas, pengecekan BI Checking, hingga penandatanganan akad KPR bisa memakan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Baca Juga : Perumahan Bukan Sekadar Tempat Tinggal, Tapi Gaya Hidup Masa Kini
Masalah Keterlambatan Proyek
Beberapa pengembang perumahan subsidi tidak profesional dan tidak mampu menyelesaikan pembangunan tepat waktu. Ada kasus rumah yang sudah dibayar uang muka namun tidak kunjung dibangun. Bahkan, sejumlah proyek mangkrak di tengah jalan karena pengembang kabur atau mengalami masalah finansial.
Konsumen tentu menjadi korban dalam kasus ini. Mereka tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga kepercayaan terhadap program pemerintah. Belum lagi proses hukum yang rumit dan sering kali tidak membela kepentingan masyarakat kecil.
Fenomena Jual-Beli di Bawah Tangan
Meskipun aturan pemerintah melarang jual-beli rumah subsidi dalam waktu 5 tahun sejak akad kredit, praktik ini tetap marak terjadi. Banyak rumah subsidi yang diperjualbelikan secara tidak resmi, menggunakan perjanjian di bawah tangan.
Motifnya beragam. Ada yang menjual karena kebutuhan mendesak, tidak tahan tinggal di lokasi terpencil, atau ingin mencari hunian yang lebih baik. Namun fenomena ini mengindikasikan bahwa rumah subsidi belum benar-benar memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.
Solusi yang Bisa Didorong
Meskipun banyak persoalan, bukan berarti program perumahan subsidi tidak bisa diperbaiki. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:
- Pemerintah perlu memperluas lahan-lahan strategis melalui kerja sama dengan BUMN atau swasta agar pembangunan rumah subsidi bisa dilakukan lebih dekat dengan pusat kota.
- Peningkatan kualitas pengawasan proyek, agar pengembang yang tidak memenuhi standar tidak lagi dilibatkan dalam program pemerintah.
- Simplifikasi syarat administrasi, khususnya bagi pekerja informal, dengan membuka jalur khusus berbasis digital atau kredit berbasis rekening bank.
- Pemanfaatan teknologi, seperti platform digital yang transparan untuk pemesanan, pelaporan, dan pengawasan progres rumah subsidi.
- Edukasi ke masyarakat, tentang hak dan kewajiban sebagai pemilik rumah subsidi, agar tidak terjadi jual-beli ilegal dan rumah benar-benar dimanfaatkan sebagai hunian tetap.
Perumahan Subsidi: Masih Layakkah Disebut Impian?
Bagi sebagian orang, rumah subsidi memang menjadi satu-satunya cara untuk memiliki hunian di tengah tingginya harga properti. Namun bagi sebagian lainnya, rumah subsidi menjadi sumber kekecewaan karena tidak sesuai harapan, baik dari segi lokasi, kualitas, maupun prosesnya.
Fakta ini memunculkan pertanyaan besar: apakah rumah subsidi masih layak disebut sebagai “rumah impian”? Ataukah program ini perlu reformasi besar-besaran agar tidak berubah menjadi “ilusi” belaka?
Ke depannya, jika perumahan subsidi ingin tetap menjadi solusi jangka panjang untuk krisis perumahan nasional, maka pembenahan menyeluruh sangat diperlukan. Bukan hanya fokus pada kuantitas unit yang dibangun, tapi juga kualitas hidup yang ditawarkan kepada penghuninya.
Baca Juga : Tren Properti Indonesia 2025: Tantangan Global & Peluang