Seorang wanita berjemur di pantai Batu Bolong, Canggu, Bali yang penuh sampah. Foto: intagram.com/thelifeofjord |
Sampah memang bukan satu-satunya permasalahan pariwisata di
Indonesia dewasa ini. Namun, hingga saat ini sampah plastik masih menjadi
tantangan terbesar. Banyak destinasi pariwisata yang mulai kehilangan
pengunjung karena banyaknya sampah.
Rusaknya lingkungan pariwisata dewasa ini banyak disebabkan
oleh ulah manusia itu sendiri. Krisisnya tingkat kepedulian lingkungan membuat
banyak ekosistem pariwisata menjadi rusak. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) menyebutkan 0,59 juta ton sampah di Indonesia berakhir di laut
(www.republika.co.id, 2019).
Hal ini tentu berdampak pada rusaknya tatanan ekosistem
laut. Bukti nyata rusaknya ekosistem laut adalah matinya Paus Sperma yang
menelan sampah sebanyak 5,9 Kg di Wakatobi (mongabay.co.id, 2018).
Tak hanya itu, maraknya sampah tidak hanya terjadi di laut,
namun juga terjadi di gunung. Pada tahun 2015, terdapat 2,4 ton sampah yang ada
di 15 gunung di Indonesia. Data tersebut merupakan hasil dari kegiatan operasi
bersih komunitas Trashbag Community (TC) (travel.kompas.com,2017).
Hingga yang
terbaru media pariwisata Amerika serikat yang bernama Fodor’s Travel yang
memasukkan Bali sebagai salah satu objek wisata yang tidak layak dkunjungi di
tahun 2020 mendatang karena masalah sampah(travel.kompas.com, 2019).
Baca Juga: Mengantisipasi dan Meningkatkan Kesadaran Rawan Bencana
Dari berbagai permasalahan tersebut, belum ada upaya
intensif dari pemerintah dalam menangani kerusakan lingkungan. Hal ini kemudian
diperparah dengan minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk menjaga
dan melestarikan lingkungan pariwisata.
Belum lama, beredar pula video aksi seorang wanita yang
membuang sampah ke laut. Dalam video yang diunggah oleh akun Instagram
@dedycamkoha, terlihat bahwa tanpa merasa bersalah seorang wanita tersebut
membuang sampah 1 ember.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir
kerusakan lingkungan tersebut?
Kenali Prinsip Leave
No Trace
Sejak tahun 90an, National Outdoor Leadership School (NOLS)
mengembangkan prinsip Leave No Trace . Prinsip ini merupakan sebuah etika untuk
berkegiatan di alam bebas yang awalnya dikembangkan untuk hutan hujan tropis di
Amerika Latin.
Secara harfiah, leave No Trace memiliki arti “tidak
meninggalkan jejak”. Artinya saat melakukan kegiatan di alam bebas atau berwisata
kemanapun, kita tidak boleh meninggalkan apapun apalagi sampah.
Prinsip ini bertujuan untuk mencegah berbagai dampak negatif
yang disebabkan interaksi manusia di alam bebas terkhusus lingkungan
pariwisata. Menjalankan prinsip ini dapat meminimalisir bekas-bekas kedatangan
manusia.
Sederhananya saat melakukan petualangan seperti mendaki atau
mengunjungi destinasi wisata seperti pantai, kita harus secara sadar untuk
menjaga kebersihan dan selalu membawa kembali sampah yang dihasilkan.
Prinsip ini memang bukan jawaban konkret dari rusaknya
ekosistem lingkungan pariwisata dewasa ini. Namun setidaknya, dengan cara ini
kita sudah bisa mengurangi problem sampah yang semakin hari semakin kompleks.
Selain itu, prinsip ini juga dapat membangun dan
meningkatkan kesadaran atau kepedulian masyarakat untuk menjaga kelestarian
lingkungan pariwisata di Indonesia demi terciptanya pariwisata yang bersih dan
sehat.
Referensi: republika.com, Mongabay.co.id, travel.kompas.com,