
Setelah pohon-pohon akasia ditebang untuk produksi kertas, limbah-limbah
kayu masih banyak yang tidak termanfaatkan, termasuk diantaranya tunggak kayu
pohon tersebut. Batang kayu yang digunakan untuk produksi kertas hanya yang
memiliki diameter 8 cm diatas, sedangkan diameter lebih kecil sebagai kayu
limbah. Setelah pohon ditebang selanjutnya dilakukan penanaman baru (replanting)
dan tunggak-tunggak tersebut ditinggalkan begitu saja. Padahal tunggak-tunggak
itu jumlahnya banyak apalagi dengan luasan puluhan hingga ratusan ribu hektar
hutan akasia tersebut. Apabila setiap satu hektar dihasilkan 16 ton tunggak
kayu akasia, maka dengan luasan 20.000 hektar sudah dihasilkan 320.000 ton
tunggak kayu akasia.
Ada perbedaan penanganan tunggak kayu akasia atau eukaliptus dengan tunggak
kayu kebun energi. Pada tunggak kayu akasia atau eukaliptus setelah pohon
ditebang maka harus menanam lagi karena target utama mereka adalah produk kayu
dengan diameter tertentu, yakni 8 cm ke atas. Apabila dari tunggak kayu
tersebut ditumbuhkan lagi trubusan maka untuk mencapai diameter tersebut akan
sangat lama sehingga tidak efisien. Hal itulah yang menjadi alasan mereka untuk
menanam lagi setelah ditebang. Sedangkan pada kayu kebun energi setelah
pohon-pohon tersebut ditebang, tunggak-tunggak yang tersisa dibiarkan tumbuh
atau trubus kembali. Target utama dari kebun energi adalah mencapai volume
produktivitas kayu tertinggi. Bahkan setelah ditebang tersebut jumlah trubusan
atau cabang-cabang yang keluar dari tunggak kayu kebun energi semakin banyak
sehingga produktivitasnya juga tinggi. Selain bisa dipanen berulang-ulang
tanpa harus replanting setiap kali panen, produktivitas juga tetap tinggi
karena jumlah trubusan yang banyak, bahkan bisa empat kali dari panen
pertamanya.

Volume tunggak akasia yang sangat banyak tersebut sangat potensial untuk
produksi arang. Perusahaan perkebunan akasia bisa menciptakan lapangan kerja
dengan memberdayakan masyarakat sekitar untuk mengambil dan mengumpulkan
tunggak akasia tersebut. Tunggak-tunggak akasia tersebut selanjutnya diolah
menjadi arang. Dengan teknologi karbonisasi yang sudah teruji dan kapasitas
tinggi seluruh tunggak tersebut bisa diolah dan bernilai ekonomi. Dengan volume
limbah tunggak akasia yang sangat banyak tersebut maka produksi arang juga bisa
berkesinambungan, sama seperti produksi kayu akasia dari hutan akasia tersebut.
Menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan berkesinambungan adalah suatu
upaya positif yang sejalan dengan bioeconomy dan kesejahteraan masyarakat.
Arang kayu yang dihasilkan dengan teknologi tersebut juga berkualitas tinggi,
bahkan dengan fixed carbon lebih dari 82% melampaui standar yang dibuat Eropa NF EN 1860-2.