Biomassa untuk memproduksi energi dapat dibudidayakan di lahan kritis, atau disebut sebagai lahan yang ‘tidak produktif’ . Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan bahwa lahan kritis di Indonesia pada tahun 2016 seluas 24,3 juta hektar (Times Indonesia, 2017). Ini adalah wilayah yang sangat luas, dan secara keseluruhan wilayah Indonesia cukup luas untuk menyediakan biomassa bagi produksi energi terbarukan.
Secara global kebutuhan wood pellet diprediksi akan terus meningkat. Hal ini karena pada industri pembangkit listrik saat ini lebih dari sepertiga produksi listrik global masih menggunakan batubara. Porsi tersebut harus turun hingga 4% pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Dunia memiliki waktu 6 tahun dari sekarang untuk mengurangi penggunaan batubara pada pembangkit listrik hingga mencapai kurang dari 4% pada tahun 2030, hal ini juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.
Namun, di Pulau Jawa , ketersediaan lahan untuk pengembangan tanaman energi terbatas karena berbenturan dengan kebutuhan lahan pertanian. Peluang terbesar untuk pengembangan hutan tanaman energi adalah di lahan milik Perhutani yang dikategorikan sebagai ‘lahan tidak produktif’ . Dalam beberapa kasus, melalui pertimbangan sosial suatu lahan bisa diarahkan untuk program yang sejalan dengan tujuan perhutanan sosial sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.39 / 2017 dan P.38/2016. Namun, sebagai upaya pengembangan usaha, Perhutani dapat memanfaatkan lahannya untuk secara khusus menghasilkan biomassa untuk energi.
Sesuai dengan rencana jangka panjang Perhutani, dan sejalan dengan rencana pengembangan bisnis perusahaan, Perhutani telah mengalokasikan area hutan seluas 116.372 ha atau sekitar 4,7% dari total luas Perhutani di Jawa (2.445.000 ha) sebagai daerah potensial untuk pengembangan tanaman biomassa yang tersebar di 13 KPH (Unit Pengelolaan Hutan) di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten.
Di seluruh wilayah Perhutani, ada daerah potensial yang memiliki tegakan hutan yang tidak produktif (lahan terbuka atau kurangi potensi hutan, atau cenderung tidak produktif dalam jangka panjang) yang mencakup area seluas 308.000 hektar , tersebar pada 57 KPH . Kawasan ini terbagi menjadi 15% di wilayah Jawa Tengah , 34% di Jawa Timur dan, 51% berada di Jawa Barat dan Banten . Berdasarkan area yang tidak produktif tersebut, kurang lebih di 27 KPH dihitung sekitar 229.286 ha atau 74% dari total luas wilayah potensial untuk Perkebunan Energi Biomassa.
Ratusan ribu sawdust saat ini digunakan untuk program cofiring PLN di Jawa sehingga mengganggu pasokan bahan baku pabrik wood pellet. Hal ini lah mengapa produksi wood pellet dari sawdust yang diambil dari industri penggergajian kayu atau limbah-limbah industri perkayuan di Jawa untuk produksi wood pellet untuk kapasitas besar akan beresiko besar berupa terganggunya pasokan bahan baku. Sehingga Pabrik wood pellet di Jawa bisa berjalan dengan baik apabila ketersediaan bahan baku bisa terus dipertahankan dan hal itu hanya bisa diwujudkan dengan dua hal, yakni pertama menggunakan bahan baku produksi sendiri, ini bisa dilakukan oleh industri-industri penggergajian dan pengolahan kayu yang memanfaatkan limbahnya sendiri untuk produksi wood pellet, dan yang kedua dengan sumber bahan baku dari kebun energi. Luas lahan yang bisa digunakan untuk kebun energi seperti diuraiakan di atas sangat potensial untuk sumber pasokan bahan baku produksi wood pellet kapasitas besar di Pulau Jawa dan ditambah lagi ketersediaan sarana penunjang di Pulau Jawa yang lebih lengkap dan lebih baik menjadi daya dorong tambahan.