biomasa sehingga bisa digunakan khususnya pada pembangkit-pembangkit listrik
yang ada. Pembangkit-pembangkit listrik adalah pengguna bahan bakar biomasa
terbesar saat ini disamping juga sebagai salah satu target utama untuk
pengurangan emisi dengan bahan bakar terbarukan atau carbon neutral fuel.
Karakteristik bahan baku dan teknologi pembangkit listrik menjadi pertimbangan
penting penentuan teknologi proses produksi bahan bakar tersebut. Industri
kelapa sawit dengan jumlah produsen CPO berjumlah ribuan (Indonesia dan
Malaysia) dan luas perkebunan sawit 12 juta hektar di Indonesia serta 5 juta
hektar di Malaysia menjadikannya sebagai target sumber bahan baku biomasa. Pada
industri kelapa sawit jumlah biomasa yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada
minyak atau CPO sebagai produk utamanya, yakni 10% minyak dan 90% biomasa
seperti ilustrasi dibawah ini.
menjadi bahan bakar andalan dan dicari untuk pembangkit listrik karena
propertiesnya sangat sesuai khususnya yang menggunakan fluidized bed combustion (FBC) , nah selanjutnya tandan kosong sawit atau EFB yang jumlahnya
sangat berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan menjadi target berikutnya untuk
sumber bahan bakar biomasa. Kalau PKS sudah bisa langsung digunakan (hanya
sedikit pembersihan) oleh pembangkit listrik, maka untuk EFB perlu pengolahan
dulu karena kadar air, ukuran, bentuk dan kadang kala sifat-sifat kimianya. EFB
memiliki kandungan chlorin dan potassium yang tinggi sehingga tidak semua
pembangkit listrik cocok dengan bahan bakar tersebut. Apabila EFB dibuat
menjadi EFB pellet maka pembangkit FBC seperti yang digunakan PKS bisa
menggunakannya tetapi untuk jenis pulverized tidak cocok, karena kandungan
chlorin dan potassium yang tinggi tersebut.
Kondisi seperti itu memunculkan inovasi sehingga EFB bisa
dijadikan bahan bakar yang cocok untuk pembangkit listrik berteknologi
pulverized yang banyak digunakan saat ini. Inovasi tersebut berupa teknologi
yang bisa mengurangi kandungan chlorin dan potassium khususnya, serta
meningkatkan kandungan energinya. Teknologi tersebut adalah hydrothermalcarbonization atau wet carbonisation sehingga kimia abu berupa chlorin dan
potassium bisa dihilangkan dengan dilarutkan pada air seperti leaching dan juga
kandungan energinya bisa ditingkatkan dengan karbonisasi atau pengarangan
tersebut. Selain itu kondisi EFB dari pabrik sawit dengan kadar air diatas 60%
juga mempermudah aplikasi teknologi hydrothermal carbonization ini.
Jumlah
EFB ini sangat besar, diperkirakan untuk Indonesia saja mencapai lebih dari 35
juta ton dan di Malaysia juga sangat banyak yakni lebih dari 15 juta ton, atau
dari dua negara terbesar produsen CPO saat ini potensi EFB yang bisa diolah
mencapai lebih dari 50 juta ton/tahun. Selain akan mengatasi masalah
lingkungan, pengolahan EFB tersebut juga akan menggerakkan sektor ekonomi yang
cukup besar. Dengan teknologi hydrothermal carbonisation maka properties EFB
bisa diupgrade sehingga sesuai untuk bahan bakar pembangkit listrik pada
umumnya saat ini. Ketakutan pembangkit listrik karena kandungan klorin, dan
potassium yang tinggi bisa diatasi dengan teknologi tersebut. Untuk menghemat
biaya transportasi sekaligus mempermudah handling, penyimpanan dan penggunaan
maka produk EFB yang telah diproses dengan hydrothermal carbonisation atau HTC EFB (EFB hydrochar) selanjutnya di densifikasi menjadi pellet maupun briket.
Tampaknya teknologi ini telah memberi jawaban sekaligus membuka peluang baru
untuk pengolahan EFB menjadi bahan bakar biomasa favorit seperti wood pellet
dan PKS.