Perpuruan di Gunung Leuser tak pernah berhenti. Foto: Mongabay |
Personil Polres Gayo Lues, Aceh, membongkar sindikat pemburu dan penjual bagian tubuh satwa liar dilindungi, Senin [01/3/2021]. Dua tersangka diamankan. Barang bukti yang disita berupa anggota tubuh harimau sumatera, beruang madu, kijang, kambing hutan, juga bulu kuau raja.
Perburuan satwa liar dilindungi dengan menggunakan jerat terus terjadi, baik di hutan Leuser wilayah Aceh maupun Sumatera Utara. Untuk mengakhiri kejahatan satwa liar dilindungi maka semua jaringannya harus dibongkar, mulai dari pemburu hingga penampung besar atau pembeli.
Perburuan satwa liar dilindungi di hutan Leuser, Provinsi Aceh, terus terjadi. Personil Polres Gayo Lues, Aceh, berhasil membongkar sindikat pemburu dan penjual bagian tubuh satwa liar tersebut, Senin [01/3/2021].
Dua tersangka diamankan dalam penangkapan itu. Barang bukti yang disita berupa anggota tubuh harimau sumatera, beruang madu, kijang, kambing hutan, juga bulu kuau raja.
Kapolres Gayo Lues, AKBP Carlie Syahputra Bustamam mengatakan, pengungkapan kasus berawal dari informasi masyarakat akan adanya kegiatan ilegal di Kota Blangkejeren, Ibu Kota Gayo Lues.
“Personil bersama tim Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL] langsung mendatangi lokasi, sebuah hotel, dan menangkap Suardin [28 tahun], warga Kecamatan Pantan Cuaca, Gayo Lues,” terang Carlie Syahputra, Rabu [03/3/2021].
Kulit, taring, dan tulang-belulang harimau sumatera yang diperdagangkan berhasil digagalkan beberapa waktu lalu di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia
Dari tangan pelaku disita 11 gigi geraham beruang madu, 8 kuku dan 4 taring beruang madu, 4 tanduk kambing hutan, serta tulang beruang madu dan tanduk kijang.
Baca juga: Anjing Menyanyi Khas Pegunungan Papua
“Pelaku mengatakan, barang-barang terlarang itu diperolehnya dari Sudirman, warga Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Tim bergerak dan Sudirman ditangkap di kediamannya,” terang Carlie.
Dari tangan Sudirman, diamankan pula 70 kuku dan 20 taring beruang madu, 31 helai bulu kuau raja, selembar kulit harimau berukuran 5,5 x 3 sentimeter, kotoran harimau, serta tali yang digunakan untuk menjerat satwa liar.
“Saat diperiksa, Sudirman memburu satwa liar menggunakan jerat,” ungkapnya.
Barang bukti yang ditemukan oleh Kapolres Gayo Lues. Foto: Mongabay.com |
Kapolres Gayo Lues menambahkan, Suardin dan Sudirman dijerat Pasal 40 Ayat 2 dan 4 UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Perburuan terus terjadi
Humas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL], Sudiro mengatakan, perburuan satwa liar dilindungi menggunakan jerat terus terjadi, baik di hutan Leuser wilayah Aceh maupun Sumatera Utara.
“Tidak dipungkiri, kejahatan ini masih berlangsung. Pihak BBTNGL bersama Polres Gayo Lues akan terus berkoordinasi sekaligus memperketat pengawasan dan pengamanan kawasan.”
Sudiro menambahkan, tim patroli BBTNGL bersama lembaga mitra selalu melakukan patroli pengamanan kawasan hutan. Sejumlah jerat yang dipasang pemburu masih banyak ditemukan.
“Banyak jerat dipasang di luar kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan TNGL.”
Sudiro menambahkan, pemburu atau masyarakat yang memasang jerat di luar kawasan hutan selalu beralasan hendak menangkap babi yang dianggap hama.
“Tapi beberapa kali ditemukan, jerat tersebut justru melukai atau membunuh satwa liar dilindungi.”
Terkait perburuan di kawasan TNGL, Sudiro mengatakan, sindikat ini melakukannya dengan rapi dan sangat tertutup. Hal ini yang menyebabkan jaringannya sangat sulit dibongkar.
“Mereka besar dan kuat. Sebagian besar kasus yang diungkap, hanya sampai pemburu,” paparnya, Rabu [03/3/2021].
Tidak akan berakhir
Ketua Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre [YOSL-OIC], Panut Hadisiswoyo mengatakan, perburuan satwa liar dilindungi di hutan Provinsi Aceh akan terus terjadi dan tidak bakal berakhir jika semua jaringannya tidak diungkap.
“Untuk mengakhiri kejahatan ini hal yang harus dilakukan adalah membongkar semua jaringan, mulai dari pemburu hingga penampung besar atau pembeli,” terangnya, Rabu [03/3/2021].
Selain itu, penegak hukum juga harus terbuka jika ada oknum yang terlibat. Biasanya, oknum penegak hukum tersebut bertugas mengamankan kegiatan ilegal itu.
“Dari kasus-kasus yang diungkap, diketahui ada yang melibatkan oknum penegak hukum. Sekarang sudah zaman terbuka, jadi siapapun yang terlibat harus diungkapkan ke publik.”
Panut menambahkan, satwa liar atau anggota tubuh satwa liar hasil buruan dari Aceh biasanya dikirim ke Sumatera Utara. Berikutnya, dijual ke pembeli atau dibawa ke penampung besar di Indonesia maupun yang berada di luar negeri.
“Penegak hukum harus berani membongkar semua orang yang terlibat, sehingga satwa liar dapat hidup aman di hutan,” pungkasnya.
Sumber: Mongabay