Biografi Pengusaha Sukses: Farida Ariyani
Bagaimana rasanya mendapatkan warisan berupa uang dari orang tua ya. Rasanya pasti seneng tapi apakah yang dirasakan jika kamu harus diwarisi usaha milik mereka. Pengalaman baru dan beban tersendiri bagi hidup seorang wanita bernama Farida Ariyani. Ditambah lagi ketika itu bisnis warisan tersebut sudah lah berhenti. Ia harus meneruskan bisnis keluarga milik sang nenek, mau tak mau karena suami juga bermasalah. Gulungan krisis keuangan mau- tak mau sama saja baginya membangun bisnis dari nol.
Bisnis inovasi
Memegang bisnis warisan bukan perkara mudah. Harus membawa nama Vanssa Chocolate jadi lebih baik lagi. Ia pun bersemangat menimba ilmu ke pusat penelitian coklat dan kakao di Jember, Jawa Timur. Dulu, Ida juga punya usaha sendiri, tapi kok tak maju- maju cuma sebatas sampingan. Beda dengan sekarang ia harus menjalankan bisnis keluarga. Apalagi ditambah pas masa krisis moneter, tahun 1998, suaminya terkena imbas.Ya, bisnis sang suami terpukul krisis moneter.
Disisi lain, dirinya harus menggantikan usaha sang nenek, dua hal itulah yang membuatnya lebih bersemangat. Ada utang bank menumpuk milik suami yang juga perlua ia sadari kala itu. Ketika itu mentalnya ada dititik nol. Sebelum mantap berbisnis sendiri ketika bangun tidur apa yang ditakutinya adalah tumpukan hutang tersebut. Ditengah himpitan tersebut ketika berkunjung ke rumah nenek. Ia diwarisi usaha miliknya untuk dia jalankan di Malang.
Di sana, Ida menemukan alat- alat pembuat coklat warisan, alat- alat pembuatan sirup dan kue milik sang nenek. Usaha sang nenek sendiri sudah berhenti tapi belum lama ini. Surat ijin usahanya saja masih berlaku ketika Ida datang. Alat- alat milik Siti Aminah (nama neneknya) terlihat teronggo di gudang. “Maka, saya berpikir, kenapa tidak melanjutkan usaha nenek,” kenangnya. Ada tiga pilihan bisnis milik sang nenek untuk digeluti. Apakah membuat coklat saja, atau beserta sirup dan kue.
Keputusan memilih coklat karena produk satu ini lebih digemari. Soal pembuatan sirup dan kue dirasanya jadi kurang fokus. Berat rasanya mengerjakan usaha sirupa atupun kue, begitu jelas ibu dua anak ini. Cukup bermodal satu juta rupiah hasil menjual kalung. Dibantu seorang karyawan yakni pembantunya sendiri. Dari tempat neneknya coklat pun jadi. Begitu dipasarkan hasilnya mengejutkan laris- manis. Meski begitu bukan perkara mudah awalnya pernah ditolak pemilik toko dan swalayan berkali- kali.
Ditolak mentah
Tak bisa menembus pasar ritel adalah momentum. Dia melirik cara lain yakni mulai dari teman- teman lantas naik ke toko- toko kecil. Semuanya dijalankan setahap- demi setahap. Ditengah perjalanan bahkan harus rela menjual mobil kesayangan. Meski bermodal warisan tapi faktanya usaha brand miliknya. Benar- benar lah baru dari seorang Farida Ariyani. Untuk itulah ia memikirkan bagiamana agar coklat miliknya punya satu karakter khas.
Di tahun 2000, sebenarnya Ida menggunakan brand sang nenek agar berjaya, yaitu nama SA. Namun pada tahun 2004 memutuskan mengganti nama jadi Vanessa by SA. Bermodalkan ciri khas nama, kemudian dalam hal rasa, mulailah ia mematenkan nama, mengajukan serifikasi halal, dan lain- lain. Sayangnya, nama Vanessa ternyata sudah kena paten, jadilah nama itu diganti Vanssa. Dalam perjalanan itu ia mengeluarkan lebih banyak uang.
Dia pun memutuskan memproduksi untuk momen- momen tertentu.
“Saya hanya membuat coklat Vanessa sebelum Lebaran, Natal, tahun baru atau pada musim Valentin saja,” ujarnya menjelaskan.
Sekali produksi pun tidak lah banyak cuma bermodal empat karyawan musiman. Lantaran bersifat musiman karyawan biasanya tak betah. Ini cukup mengganggu tingkat produktifitas dan kualitas. Tak ingin kehilangan karyawan terus menerus harus lah ada solusi. Di tahun yang sama, tahun 2004, ia memutuskan harus lah total bagaimana pun caranya. Seperti diceritakan diatas ia bergabung ke pusat penelitian coklat, dan kopi untuk lebih jelasnya.
Dari tempat tersebut, dipelajarinya bagaimana cara mengemas coklat higienis agar tak terkena udara. Ida lantas cuma membuat coklat Vanssa untuk sekali makan saja. Maksudnya adalah coklat mungil yang tiap kepingnya berbobot 10 gram saja. Supaya unik aneka isinya ditambahka kedalam coklatnya. Isiannya dari blueberry, kacang, aneka manisan buah, dan adapula cairan coklat atau ganache. Dari segi bentuk kemudian dibuat seapik mungkin hingga pantas tiga kepinya dihargai Rp.10.000 per- buah.
Margin untung bisa dibilang lumayan yakni 25%. Guna mencapai penjualan dibutuhkan pengorbanan besar. Seperti dikisahkan diatas bahwa produknya sempat ditolak oleh toko- toko dan swalayan. Sulung dari tiga bersaudara itu kemudian mengintip celah ekspor. Didukung oleh sang suami bisnisnya mampu menembus celah ekspor. Ida juga tak segan keluar masuk toko kembali. Meski saat itu, bahkan tanpa dicicipi para pemilik toko dan pihak swalayan coklatnya ditolak.
Namun, berkat kegigihannya akhirnya bisa tembus, total ada 30 toko dan swalayan di Surabaya. Sejak tahun 2005, Ida juga aktif mengikuti pameran, utamanya yaitu pameran produk UKM di kawasan Jakarta Convention Center (JCC). Ia ikut mewakili produk unggulan dari Jawa Timur. Hasilnya cukup memuaskan yaitu meraup rata- rata 2 juta sehari. Lain cerita ketika mengikuti Pekan Raya Jakarta (PRJ) di Kemayoran Jakarta Utara hasilnya pernah lebih rendah.
Pasalnya menurutnya faktor letak stan di PRJ tak mendukung. “Waktu itu tempat saya di Hall C, jadi agak sepi,” jadilah ketika itu dirinya cuma meraup 1 juta sehari.
Selain pemaran UMKM ada pula pameran coklat yang hasilnya lebih memuaskan. Vanssa dilirik banyak orang berminat menjadi agen. Secara resmi dirinya punya tiga agen dari Jakarta dan Bali. Ketika mengikuti pameran coklat hasilnya bisa mencapai 10 juta rupiah. Ini membuktikan bahwa rasa coklat Vanssa ampuh bersaing dengan pengusaha coklat lokal mapan.
Penjualan coklat Vanssa merambah hingga ke pasar selain Surabaya, Bali dan Jakarta, yaitu sampai ke Sidoarjo, Gresik, Jogja, Kendari, Batam, Balikpapan. Bahka menembus pasar ekspor di Jeddah sebagai oleh- oleh. Terutama varian coklat isi kurma yang idenya datang ketika musim Lebaran tiba. Edukasi pasar jadi fokus utama memperkenalkan produk lokal ini. Ia optimis bisnis coklatnya bisa berjalan lancar. Pasalnya untuk persaingan lokal masih jarang- jarang.
Apalagi dirinya getol membuat inovas baru. Mulai dari rasa sampai kemasan unik tapi tetap terjaga. Vanssa sempat dipandang sebelah mata. Masyarakat sendiri memandang sebelah mata. Tapi melalui harga yang baik yakni Rp.6.500 sampai Rp.40.000, mampu membuat masyarakat berpikir ulang; lantas mencoba. Nah, kalau sudah mencoba, pastilah mereka bisa ketagihan. Itulah kiranya cara terbaik mengedukasi masyarakat melawan produk asing.
Bisnis coklat Vanssa tumbuh 10%- 20%. Dimana mampu menjual 100 kg per- hari, perusahaanya kini sudah bisa meraup Rp.100- 150 juta. Coklatnya terjual 100 kg per- hari atau 2- 3 ton per- bulan. Bicara soal bahan baku dari lokal mencapai 40%- 60%.
Alamat: Delta Sari Indah AX 17 Waru, Sidoarjo, Jawa Timur
Email: farida_ariyani12@yahoo.co.id.