Ilustrasi. Penyelam menikmati keindahan bahwa laut perairan Pulau Pieh, Sumatera Barat. Foto : KKP |
Landas kontinen adalah wilayah dasar laut yang dimiliki sebuah negara. Di Indonesia, landas kontinen beberapa kali mengalami perluasan dengan menyesuaikan hasil kajian ilmiah terbaru yang mencakup seluruh wilayah dasar laut yang ada di Indonesia
Terbaru, Indonesia mengajukan klaim perluasan wilayah landas kontinen kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dibuktikan dengan dokumen yang sudah disusun oleh Tim Nasional Penetapan Landas Kontinen Indonesia di Luar 200 mil laut
Dengan adanya klaim yang didasarkan pada kajian ilmiah, luas landas kontinen Indonesia bertambah seluas 211.397,7 kilometer persegi yang mencakup wilayah barat daya pulau Sumatera pada investigator zone dan wharton fossil region
Pengajuan klaim dilakukan atas dasar ketentuan hukum UNCLOS yang membolehkan negara pihak konvensi untuk mengajukan klaim perluasan landas kontinen di luar 200 mil laut maksimal hingga 350 mil laut dari garis pangkal
Luas wilayah landas kontinen atau dasar laut Indonesia mengalami penambahan di barat daya pulau Sumatera pada investigator zone dan wharton fossil region. Luas area tersebut di luar 200 mil laut yang selama ini menjadi batas resmi untuk landas kontinen Indonesia dan diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Secara spesifik, penambahan tersebut mencakup 211.397,7 kilometer persegi dan secara resmi sudah dilaporkan kepada PBB dengan melampirkan dokumen submisi klaim perluasan landas kontinen. Penyampaian tersebut dilakukan pada akhir 2020 lalu di New York, Amerika Serikat.
Baca Juga: Surga Bawah Laut Ada di Raja Ampat
Duta Besar Indonesia untuk PBB Triansyah Djani ditunjuk oleh Presiden RI sebagai utusan resmi Negara untuk menyampaikan klaim perluasan landas kontinen. Penunjukan kepada Wakil Tetap RI untuk PBB itu, untuk menegaskan klaim yang luasnya dua kali dari pulau Jawa.
Triansyah menerangkan, penyampaian dokumen submisi kepada PBB menjadi proses penting bagi Indonesia. Mengingat, itu menjadi bagian dari perjuangan Indonesia dalam upaya memperluas wilayah yurisdiksi di dasar laut.
Selain menyampaikan dokumen submisi, klaim Indonesia juga harus dibuktikan dengan menjelaskan secara teknis dan hukum di hadapan Komisi Batas Landas Kontinen PBB (UN-CLCS). Klaim tersebut harus bisa diterima, agar wilayah yurisdiksi landas kontinen bisa lebih luas dari pulau Sulawesi.
Di sisi lain, Triansyah Djani juga ingin menegaskan bahwa Indonesia tidak diam saja meski situasi dunia tengah dilanda pandemi COVID-19. Pada situasi tersebut, Tim Nasional Penetapan Landas Kontinen Indonesia di Luar 200 mil laut tetap bekerja secara optimal dan berhasil menyelesaikan sejumlah tugas penting untuk pengumpulan dokumen.
Adapun, tugas yang dimaksud adalah penyelesaian desktop study, survei batimetri, dan penyusunan seluruh dokumen lengkap submisi Pemerintah Indonesia untuk segmen barat daya pulau Sumatera. Semua itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari dokumen submisi landas kontinen Indonesia yang baru.
“Penyampaian submisi merupakan pembuktian bahwa meskipun dalam kondisi pandemi selama tahun 2020,” tegas dia.
Triansyah menerangkan, proses yang dilakukan Indonesia dengan mengklaim perluasan landas kontinen, merupakan bagian dari hak dan kewenangan Indonesia sebagai negara pihak dari Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS.
Sesuai ketentuan UNCLOS, negara pihak konvensi bisa mengajukan klaim perluasan landas kontinen di luar 200 mil laut maksimal hingga 350 mil laut dari gari pangkal. Klaim perluasan tersebut bisa dilakukan dengan dibuktikan secara ilmiah di hadapan UN-CLCS.
“Bahwa area yang diklaim merupakan kepanjangan alamiah dari daratan negara tersebut,” sebut dia.
Tim Nasional
Berdasarkan aturan UNCLOS tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian membentuk Tim Nasional Penetapan Landas Kontinen Indonesia di Luar 200 mil laut yang bertugas untuk melakukan percepatan dalam penyusunan dokumen submisi landas kontinen kepada PBB.
Selain itu, pembentukan tim juga untuk mengawal klaim Indonesia untuk landas kontinen sampai PBB menerbitkan rekomendasi final. Kemudian, tim juga mendapatkan mandat untuk menyiapkan data teknis yang di dalamnya termasuk untuk menyelenggarakan survei.
“Serta membuka komunikasi dengan negara tetangga yang memiliki klaim tumpang tindih atau bersebelahan dengan Indonesia,” jelas dia.
Klaim perluasan wilayah landas kontinen di luar batas 200 mil laut yang dilakukan Indonesia, bukanlah menjadi klaim yang pertama. Sebelumnya pada 2008, Indonesia lebih dulu melakukan klaim dengan mengajukan submisi perluasan landas kontinen kepada PBB.
Baca Juga: Berkenalan dengan Bima, Daerah Terpanas di Indonesia
Pada momen 12 tahun lalu, klaim perluasan dilakukan Indonesia dengan mengajukan dokumen wilayah dasar laut di bagain barat Provinsi Aceh. Setelah proses pembuktian, PBB akhirnya menerima klaim tersebut dan memberikan rekomendasi k
epada Indonesia untuk menambahkan wilayah dasar laut seluas 4.209 km2 atau luasnya hampir sama dengan pulau Madura di Jawa Timur.
Setelah 2008, klaim perluasan landas kontinen juga dilakukan Indonesia kepada PBB. Melalui timnas yang dibentuk secara khusus, Pemerintah Indonesia mengajukan klaim perluasan wilayah dasar laut di bagian utara pulau Papua dengan luas mencapai 196.568,9 km2 atau seluas pulau Sulawesi.
Triansyah Djani mengatakan, proses submisi perluasan landas kontinen Indonesia menjadi salah satu pembuktian kualitas dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Proses tersebut dinilai sangat rumit, karena pada setiap tahapannya, Indonesia tidak menerima bantuan tenaga ahli ataupun peralatan dari negara atupun pihak lain.
Di sisi lain, sebagai besar negara berkembang dan atau bahkan negara maju yang sudah melakukan submisi, mereka semua mendapatkan bantuan dari para pakar internasioal ataupun pakar yang disediakan oleh UN-CLCS. Sementara, Indonesia justru mampu melakukan semua secara mandiri.
Indonesia mampu melaksanakan semuanya secara mandiri dengan personel dari berbagai latar belakang keilmuan dan peralatan yang dimiliki nasional. Submisi ini juga sekaligus menjadi sebuah pembuktian bahwa Indonesia siap mewujudkan cita-cita menjadi Poros Maritim Dunia.
“Dalam proses penyusunan dokumen submisi, tim akan mengumpulkan berbagai data dasar laut dalam dan sekaligus melaksanakan interprestasi dari teknis sampai masalah hukum yang kompleks,” terang dia.
Diketahui, Tim Nasional Penetapan Landas Kontinen Indonesia di Luar 200 Mil laut dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dan beranggotakan sejumlah kementerian, badan, dan lembaga.
Di antaranya, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi dan ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI-Angkatan Laut.
Batas Maritim
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Kemaritiman Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan, penetapan batas maritim Indonesia menjadi persoalan yang krusial, karena itu bisa menjaga kedaulatan Negara. Tetapi, dia menyadari bahwa penetapan batas maritim juga bukan menjadi perkara yang gampang dan bisa dikerjakan dengan cepat oleh Negara.
“Ada kompleksitas tersendiri dalam penetapan batas maritim, karena bukan hanya fakta geografis Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara saja, namun juga karena ada status hukum Indonesia sebagai negara kepulauan,” jelas dia beberapa waktu lalu.
Eddy mengungkapkan, dalam membahas penetapan batas maritim dengan negara tetangga, sering kali dihadapi perbedaan prinsip antara status Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara tetangga yang merupakan negara kontinen. Perbedaan tersebut tidak jarang menjadi isu perdebatan utama saat dilaksanakan penerapan metode penarikan garis batas.
“Sehingga sering kali menyebabkan perundingan berjalan dalam waktu yang lama,” tutur dia.
Mengingat beratnya medan perundingan yang harus dijalani saat proses pembahasan batas maritim dengan negara tetangga, Eddy meminta Pemerintah bisa memperkuat barisan negosiator yang akan bertarung dengan diberikan pelatihan khusus terkait dengan delimitasi batas maritim. Cara tersebut diharapkan bisa melahirkan negosiator ulung yang berkelanjutan untuk Indonesia.
Para negosiator yang akan bekerja sebagai tim perunding, juga tak melulu harus berasal dari disiplin ahli hukum laut. Melainkan, harus juga diisi dengan para negosiator yang berasal dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan kebutuhan perundingan.
Perlunya variasi latar belakang disiplin ilmu untuk negosiator, menurut Eddy, karena dalam proses perundingan penetapan batas maritim akan terjadi sebuah proses diskusi yang menggabungkan berbagai bidang kelimuan yang berbeda. Misalnya, bidang hukum politik, ilmu kebumian, ekonomi, sumber daya alam, dan geospasial.
“Semua itu harus diramu oleh tim perunding menjadi sebuah posisi yang diharapkan dapat menjadi sebuah garis yang dapat diterima oleh para pihak terkait, dan hal tersebut tidaklah mudah,” tambahnya.
Sumber: Mongabay