Biografi Pengusaha Pemilik Brodo

Siapa tidak kenal nama pemilik sepatu Brodo. Cuma tidak semua orang kenal akan kisahnya. Diambil dari bermacam referensi. Awal kisah Yukka Harlanda ternyata cuma coba- coba. Mencoba menjadi pengusaha muda ternyata menyenangkan. Bahkan hasilnya diluar harapan mahasiswa teknik Institut Teknologi Bandung ini.
Menemukan jalan
Tahun 2007, dia berjalan sampai ke sentra pembuatan sepatu Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat. Fakta yang mencengangkan ditemui bahwa sepatu merek global bahan kulitnya dari Cibaduyut. Ini semakin mendorong dia untuk membuat sepatu sendiri, yang nyaman, dan berharga cocok. “Waktu itu saya pikir pasarnya ada, tapi kok tidak ada brand Indonesia.”
Bertepatan akan hasratnya saat itu ada booming sosial media. Pada tahun 2010, anak mudah tengah asiknya menggandrungi Facebook. Dimana pengguna internet meningkat drastis bertambah terutama Indonesia. Ini sangat menguntungkan keinginan bisnis Yukka. Untuk modalnya Rp.7 dibagi Rp.3,5 juta diantara mereka berdua.
Sepanjang perjalanan mulai berproduksi, Yukka sempat meminjam uang teman, orang tua, bahkan sampai ke Bank. Awal produksi cukup lima pasang sepatu asli buatan Cibaduyut. Pasar pertama disasar adalah teman mereka sendiri. “Saya tanya ke teman-teman, bagus atau enggak? Eh katanya bagus ya udah dibayar deh,” kenang Yukka.
Mereka bersama belajar sendiri dari perajin Cibaduyut. Awal memang selalu gagal terus, tetapi kegagalan demi kegagalan menempa selera mereka. Mereka mencoba membuat standarisasi agar tidak ada kecacatan. Waktu itu belum sepenuhnya berpikir wirausaha. Masih mengukur kedalaman sampai akhirnya mereka lulus ITB.
Pengusaha otodidak
Yukka rela memempet banyak perajin untuk diambil ilmu. Agar bisa membuat sepatu idaman mereka. Agar dia mendapatkan rahasia ilmu membuat sepatu. Cara mendapat ilmu membuat sepatu cukup lewat ngobrol. Yukka membangun hubungan sebaik mungkin. Hinga terbuka pintu network dengan perajin asal Cibaduyut.
Nama Brodo sendiri tidak memiliki hubungan dengan sepatu. Katanya nih, itu diambil dari komik masakan Italia, yang mana tokoh utamanya memasak kaldu ayam. Kaldu tersebut bernama Brodo. Lalu itulah yang diambil namanya Brodo berlogo seperti gambar ayam.
Brodo merupakan esensi masakan Italia. Jika sepatu jelek, tetapi pakaiannya bagus, yah tetap saja hasilnya mengecewakan. Sepatu Brodo merupakan buah idealisme seorang Yukka. Waktu periode akhir masa kuliah, ia mulai menawarkan ke teman- temannya. Agak maksa sih harus dipepet sampai mereka mau membeli.
Teman Yukka memberikan tanggapan berbeda. Mereka tertarik akan desain buatannya. Dan sedikit mereka bercanda ngapain belajar kalkulus, fisika, kalau akhirnya jualan sepatu. Yukka cukup mengamini hal itu dan harapan membuka toko sendiri sudah di depan mata.
Menggunakan strategi membuat sepatu, menjual, membuat sepatu lagi, lalu dia jual lagi. Jadi Yukka tidak perlu menghabiskan banyak biaya. Uniknya, uang Rp.3,5 juta ternyata Yukka dapatkan sebagian besar dari tabungan waktu kecil yang merupakan angpao pas Hari Raya Idul Fitri.
Soal desain sepatu sampai detailnya dipelajari lewat YouTube. Sedangkan proses pembuatan harus dipelajari langsung ke perajin. Karena perjalanannya memakai passion maka hasilnya tidak mengecewakan. Ia mulai menawarkan melalui sarana SMS. Brodo lantas dijualnya melalui Kaskus, Facebook, Twitter, serta website sendiri.
Iseng mulai mengupload foto produk. Dia terus mentag teman, kenalan, pokoknya promosi Brodo saat itu gratis 100%. Harga Brodo saat itu dibandrol Rp.300.000 per- pasang. Perlahan namun pasti nama sepatu Brodo tersebar lewat mulut ke mulut. Dari berjualan cuma sepasang, berkembang sampai menjual 5-6 pasang.
Bisnis mepet
Karena masihlah kuliah dibutuhkan kerja ekstra keras. Dia harus bekerja efisien. Makanya Yukka dan Putra rela membayar pembantu di kosan menjadi tenaga pengirim. Yukka sendiri merangkap jabatan, mulai dari pembuat sepatu, ya costumer service juga.
Efisiensi digalakan sedemikian rupa diawal- awal. Yukka bahkan melakukan efisiensi bahkan ke baha baku. Hanya saja ternyata salah perhitungan soal satu ini. Mencoba mengirit bahan baku sampai bisa menurunkan harga justru berakhir bencana. Kualitas sepatu Brodo tidak terjamin. Alhasil banyak sepatu gagal produksi alias cacat.
Membeli bahan baku murah bukan solusi. Malah membuat Yukka rugi besar. Sebuah pelajaran dipetik oleh satu pengusaha muda ini. Oleh karenannya dia sekarang memilih menaikan harga sepatu ketika bahan baku naik.
Mulai dari 2007 sampai tahun 2012, Yukka dan Putra cuma mendapatkan bantuan dari seorang pegawai. Ya karena mereka mahasiswa jadilah tidak ada dana. Hanya dibantu beberapa teman kampus itupun seadanya. Yukka sendiri sempat diolok- olok karena ngotot. Bahkan sampai lulus kuliah bisnis Brodo terus dijaga.
Selesai kuliah membuat Yukka sempat berhenti sejenak. Dia mulai mencari pekerjaan sesuai latar belakang pendidikan. Namun seperti sudah bisa kita duga tidak bisa pindah ke lain hati. Ia melanjutkan bisnis tersebut, hingga menawarkan ke distribution outlet (distro). Selain penjualan online juga ditawarkan melalui offline ke masyarakat.
Berhenti mencari kerja, ia mulai bekerja di Brodo secara full time. Ia mulai merekrut orang bekerja sampai 75 pegawai. Semua sejalan dengan penjualan sepatu Brodo yang makin laris. Ada satu hal ditemuinya bahwa penjualan online ternyata lebih bagus. Oleh sejak itu sepatu Brodo fokus dijual melalui internet, termasuk dari toko online sendiri.
Kunci sukses sepatu Brodo: Menerapkan costumer service terbaik kamu. Dalam 3 tahun saja usahanya bisa naik tinggi. Mungkin terkesan basi tetapi manjur. Perlakukan pelanggan itu layaknya teman, sampai mereka merasa nyaman membeli produk kamu. Kalau sudah begitu pelanggan nanti akan menyebarkan cerita kita ke orang lain.
Sarjana teknik yang capek- capek kuliah cuma buat jualan sepatu. Yukka tidak pernah merasa terasing akan fakta itu. Dia tetap melanjutkan sepak terjangnnya. Bahkan semakin selektif dalam mengangkat pegawai di perusahaan kecilnya. Agar terus menjaga kualitas barang serta layanan memuaskan bagi pelanggan.
Dia mengadakan training. Melihat sendiri apakah pegawai sesuai karakternya dengan kultur perusahaan. Ia sekarang mempunyai 118 orang pegawai yang tersebar di sentra sepatu Cibaduyut. Produksi sepatu cukup diberikan perajin yang sudah mempunyai mesin. Berawal 5-6 pasang, kini, Brodo berproduksi 5000 sampai 6000 pasang.
Permintaan pun datang dari Jepang dan Amerika. Hanya prosesnya yang rumit membuat dia berhenti. Cuma sementara sampai perusahaan benar siap. Pasar incaran Brodo yakni Jabodetabek dan Jawa sebesar 40%- 50%.
Tidak berhenti kerja
Antara Yukka dan Putra sampai saat ini masih bekerja bersama. Mereka menerapkan manajemen kerja yang unik; defense dan offense. Maksudnya adalah defense untuk Putra yang tinggal di Bandung. Dia mengurusi semua produksi, gudang, pengiriman, serta costumer service. Untuk offense adalah Yukke meliputi marketing dan website.
Target pasar antara umur 19 sampai 35 tahun. Fokus penjualan lewat sarana digital marketing. Alasanya di umur segitu masih asiknya mengeksplor internet. Tetapi tidak menutup kemungkinan merubah gaya penjualan mengikuti tren. Sekarang sih hanya fokus dulu apa yang telah mereka kerjakan.
Untuk sepatu Brodo cewek belum dipikirkan. Fokus mereka hanya untuk konsumen sekarang. Harga sepatu paling murah dikisaran Rp.250 ribu sampai Rp.700 ribu. Untuk desain menggunakan desain timeless, yang berarti bisa dipakai sekarang atau untuk sepuluh tahun mendatang. Soal servis selalu meminta feedback dari pelanggan.
Setiap hari harus siap melayani pelanggan, mendapatkan masukan, pokoknya investasi terdepan ialah soal kepuasan pelanggan. Ambil contoh Brodo merekrut pegawai agar siap menerima telephon 24 jam termasuk pembelian 24 jam. Termasuk membeli software penjualan, jadi seperti di bank, ada ID nya serta history dari pembelian.
Tidak ada persaingan diutarakan oleh Yukka. Mereka hanya fokus menggarap produk, pasar, dan melayani pelanggan. Timbal balik berupa saran atau kritik menjadi makanan sehari- hari. Mulai dari sosial media, dari telephon, dan juga email. Penjualan pun sudah merambah Medan, Surabaya, dan masih akan terus meluas.
Awal berdiri, terhitung 2010 sampai 2013, Brodo tumbuh konsisten sampai 400%. Hanya untuk tahun ke depan sejalan pertumbuhan volume permintaan; Yukka tidak mau berlebihan. Target pertumbuhan dipatok antara 200% sampai 300%. Penjualan offline pun digalakan kembali, namun melalui penjualan di toko milik sendiri.
Menurut Yukka potensi pasar dalam negeri masih terbuka luas. Tidak terburu- terburu menyasar pasar luar negeri dulu. Ambil contoh pertumbuhan toko di Medan dan Surabaya. Desain toko sangat unik disesuaikan memanfaatkan sela kosong kantor perwakilan Brodo di daerah, terang pria kelahiran Jakarta, 18 Juli 1988 ini.