Ketika itu Jenny mengatakan kepada ibunya bahwa dia mendapatkan pekerjaan baru. Dari segi karir wanita ini tidak kekurangan, sebab, dia menduduki pekerjaan sebagai manajer sebuah perusahaan permodalan. Dia masih muda. Dua tahun sebelum ‘pekerjaan barunya’, 27 tahun, Jenny Dawson masihlah mempunyai gaji tetap tiap bulannya. Kini, dia pertarunkan semuanya, demi pekerjaan hebat ‘plum job’ sebutnya.
Hidup nyaman
Lebih banyak senyum didapatkan Jenny mungkin lebih baik.
Jauh diberjalan keluar dari tempat itu ia menemukan sebuah realita. Di luar sana ada tumpukan sampah yang ternyata isinya adalah buah- sayur segar dan masih bisa dimakan. Ada yang masih terbungkus plasti, itu buah asal Kenya (penulis tak paham buah apa), ada pula mangga dari Filipina, dan tomat dari Turki. Mereka itu sangatlah masih bagus untuk dimakan… tapi tak laku.
Suatu kesalahan, memang ada beberapa yang rusak, tapi bebarapa juga tentang kelebihan jumlah untuk laku dijual. Ini sangat tidak bermoral jelas Jenny. Kita masyarakat London, mengambil buah dari produsen Afrika, mendapatkan dengan harga sangat murah, tapi pada akhirnya mendapat lebih dari yang bisa terjual. Dan, dengan mudahnya penjual membuangnya itulah ketidak moralan. Jenny resah dan pulang ke rumah, ia lalu menyempatkan diri mencari- cari di Google tentang “good waste”.
Hasilnya mengejutkan, betapa tidak, berdasarkan badan amal Love Food, Hate Waste, dijelaskan bahwa kita masyarakat London membuang 7,2 juta ton bahan makanan. Ini baru dari sebuah kota bernama London di Inggris saja. Ini terjadi setiap tahunnya dimana kebanyakan masih bisa dimakan. Untuk anggaran finansial Inggris sendiri ada 12 juta euro dan banyak yang terbuang seperti ini. Biaya untuk mengurusi lingkungan jadi sama besarnya -sama sama membengkak.
Dalam seminggu, dia lantas kembali ke pasar, mengambil sekantung besar ke rumahnya.
Bisnis sosial
“Apa yang bisa saya lakukan dengan semua buah dan sayuran gratis ini, dan bagaimana kita bisa begitu boros ketika begitu banyak orang di dunia kelaparan? Jadi saya mengisi keranjang sepeda dan ransel dengan banyak tomat, bawang dan apel yang saya bisa, dan ingat Mum untuk resep chutney -nya. “
Saat itu di Desember 2010, Jenny ingat betul ada wadah selai dan penutupnya. Seketika ia mulai melakukan bersih- bersih tanpa berpikir panjang. Saat itu pertama kali Jenny belum memperhatikan soal aturan higenis di negara tempatnya. Dia lantas memprosesnya menjadi chutney semacam selai atau bumbu yang berbahan rempah- rempah (dari Google). Dia mengajak seorang teman, memasukan itu ke dalam wadah, lalu ia siap menjualnya.
Dia mengambil tempat di sebuah pasar Marylebone High Street. Jenny membuat produknya sendiri yang disaat itu masih sangat sederhana. Ala kadarnya dijualnya olahan aneka buah dan sayur dalam kemasan itu Dimana saat itu di musim Natal, ia menjual semua chutney -nya, menghasilkan untung 200 euro dari bahan- bahan gratisan itu. Jenny benar- benar mengingat hari itu ketika dinginnya salju memaksanya beristirahat di sebuah pub untuk makan siang dan menghangatkan diri.
Dia sadar, “inilah yang saya inginkan.”
Cobaan lain ketika beberapa teman datang mengecilkan hatinya. Ini tentang kemasannya yang “meh” kala itu pertama kali berjualan. Tak pantang menyerah, dia membuat wadahnya sendiri, pertama kali dia membuat satu logo sederhana dari cap jempolnya. Saat ini dia masih melakukan hal sama terutama dibelakang produk olahannya.
“Jangan menaruh “reruntuhan “dengan makanan. Tapi saya menyukai gagasan itu, dan rasanya seperti sangat sesuai. ” itulah katanya ketika mendapatkan ejekan teman- temannya. Tak mau setengah- setengah dia lantas membuat brand -nya sendiri.
Sukses bukanlah tentang uang yang dihasilkan olehnya. Ada visi lebih luas dari sosok wanita cerdas ini. Apa itu tentu sudah kamu duga sebelumnya. Dia tidak cuma ingin produk olahan ‘daur ulang’. Jenny ingin untuk dapat mempekerjakan orang lain; khususnya mereka yang ditolak masyarakat. Mereka ingin mendorong hidup mereka agar diterima masyarakat lagi. Mulailah ia mengumpulkan beberapa orang.
Saat itu terjadi, perlu kamu tau, dia belumlah melepaskan pekerjaannya saat itu. Saat itu ia aktif pula untuk meminta bantuan organisasi non- profit, termasuk sebuah badan amal untuk tunawisma Crisis, dan juga ia punya hubungan dengan beberapa organisasi pemuda.
“Saya menyadari bahwa banyak dari orang-orang ini sangat mampu, cerdas, cerah dan mampu – tapi tak seorang pun percaya mereka ,” jelasnya. Jadilah ia mulai mempekerjakan mereka yang mantan kriminal, yang tidur di jalan, orang yang berusaha agar bisa bekerja kembali dan mereka yang tak mau dicap sampah. Ia mulai mengajari mereka tentang bisnis yang tengah ia kerjakan. Sebuah perusahaan lahir bernama unik yang bila diartikan, perusahaan Rubies in the Rubble.
Dari mulut ke mulut jadilah Rubies in the Rubble menarik perhatian masyarakat. Dia mulai menjual chutneys ke pasar- pasar besar, ke supermarket, bahkan mulai menjualnya melalui situsnya. Banya pemikiran lain dibenaknya untuk produk- produk lain, yang fokus pada sayur- sayuran dan buah- buahan yang tak utuh. Mereka bisa diproses menjadi produk lain. Seperti menggabungkan antara apel dan jahe, tomat pedas, prem kacang, buah pir dan kacang kenari atau mangga, adapula bawang merah dan cabai.
Dukungan orang tua
Tak disangka orang tuanya mendukung. Mereka sendiri membesarkan dua putrinya yaitu Jenny dan Anna di tempat segar. Mereka dibesarkan di sebuah peternakan, hidup di tanah yang asli bukan aspal, mereka ini lahir ditempat rumah bergaya country. Jenny juga menyebut bahwa keluarganya memang mencintai sesuatu tentang menjaga lingkungan; sebut saja bibi yang menolak naik pesawat, mobil hybrid dan hobi jalan- jalan menikmati kesegaran alam.
Namun, hidup enak jadi manajer, siapa yang ‘gila’ melepasnya dan seberapa besar pengorbanan dari Jenny Dawson. Dia ternyata bukanlah pegawai biasa. Jenny pernah mendapatkan penghargaan dari kantornya di bidang keuangan, dia punya gaji yang tinggi, tapi itu tak membuatnya gentar. Kini, dia bahkan hidup lebih ‘buruk’ dari teman- temannya yang bekerja giat dengan segala tekanan dan kemacetan. Jenny bahkan lantas berkata dia tidak lagi makan di restoran mahal.
Dia tidak punya pacar, meskipun begitu, bukan berarti dia menikah dengan chutney -nya: “Saya suka ide menjadi bebas, dan tidak terikat baik oleh harta atau orang-orang.”
Menyadari bisnis itu letih, tapi juga menantang bagi mereka pengusaha tunggal, dia tidak lah memiliki mitra bisnis untuk sekarang, juga tidak untuk pasangan hidup. Wanita cerdas lulusan Oxford 24 tahun lalu, Alice Lawson, kemudian datang ke perusahaan milik Jenny menawarkan diri menjadi mitra. Alice lantas membombardir Jenny dengan CV dan permintaan untuk bekerja di tempat itu. Jenny kini telah menjadi bos untuk dirinya sendiri.
“Dawson & Lawson. Ini merek lain! ” lelucon Jenny.