Kelapa sawit, sejatinya bukan tanaman asli Indonesia. Bermula dari 4 biji kelapa sawit, yang sebenarnya aslinya dari Afrika tersebut dibawa orang Belanda ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada tahun 1848. Karena tanaman tersebut tumbuh subur dan setelah dicoba di beberapa daerah bisa tumbuh dengan baik maka sejak 1910 kelapa sawit dibudidayakan secara komersial dan meluas di Sumatera.
Indonesia adalah negara agraris. Sebagian besar penduduk negeri khatulistiwa ini bekerja di sektor pertanian dan perkebunan. Kombinasi kondisi dan letak geografis Indonesia membuat negara ini tempat yang pas untuk bercocok tanam. Dari berbagai macam hasil pertanian dan perkebunan, kelapa sawit berhasil mengantarkan Indonesia ke peringkat pertama penghasil komoditas tersebut.
Tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, perkebunan kelapa sawit juga mendorong perkembangan aspek sosial dan lingkungan di Indonesia. Sebagai komoditas utama perkebunan nasional, industri ini membuka lapangan pekerjaan yang luas terutama kepada masyarakat di daerah sekitar perkebunan maupun dari daerah lain di Indonesia. Dari segi lingkungan, Indonesia telah menerapkan ISPO (Indonesia sustainable palm oil). Upaya tersebut merupakan usaha pemerintah menjamin keberlanjutan pengelolaan kelapa sawit agar tidak asal-asalan. Pengelolaannya menerapkan prinsip 3P, yaitu profit, people, dan planet.
Mengelola potensi sawit
Besarnya potensi dari perkebunan kelapa sawit membuat pemerintah merasa perlu membentuk badan pengelola dana untuk pengembangan sektor tersebut. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) adalah sebuah unit noneselon di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola dana perkebunan kelapa sawit dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Pelaksanaan tugas organisasi ini mengikuti kebijakan yang ditetapkan oleh komite pengarah yang sesuai dengan program pemerintah. Komite pengarahnya terdiri dari delapan kementerian, yakni Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Ketua), Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dasar hukum pembentukan organisasi ini menjadi badan layanan umum ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 113/PMK.01/2015 tanggal 10 Juni 2015. BPDKS hadir sebagai bentuk pelaksanaan amanat pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan. Peran yang dijalankannya adalah menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau CPO supporting fund (CSF) yang dimanfaatkan untuk program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan. Tarif layanan yang dikenakan terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor kelapa sawit, crude palm oil (CPO), dan/atau produk turunannya serta tarif iuran pelaku usaha perkebunan kelapa sawit.
Lembaga yang berperan dalam pengelolaan dana sawit ini menerapkan prinsip ”from palm oil to palm oil”. Di tahun 2022, BPDKS diperkirakan mampu menghimpun dana dari pungutan ekspor sawit sebesar RP34,5 triliun. Kinerja imbal hasil dana kelolaan di tahun 2022 tercatat sebesar Rp800 miliar yang digunakan menjalankan program, meliputi dukungan program mandatori biodiesel, peremajaan sawit rakyat, penyediaan sarana dan prasarana kelapa sawit, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia (SDM) sawit. ”Sektor sawit di Indonesia melibatkan 2,4 juta petani swadaya dan 16 juta tenaga kerja. Industri kelapa sawit ini telah berkontribusi pada pendapatan pemerintah, keuntungan bagi perusahaan, lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan bagi petani kecil.” ungkap Eddy Abdurrachman, Direktur BPDKS, dalam rilis resmi BPDKS yang terbit Desember 2022.
Kendala pengembangan sawit rakyat
Luas tutupan perkebunan kelapa sawit 16,38 juta hektar yang terbagi perkebunan rakyat sekitar 6,72 juta hektar atau 41 persen. Sekitar 2,73 juta hektar perkebunan rakyat tersebut sudah berumur 25-30 tahun dan sudah harus di replanting. Masalah tersebut semakin diperparah dengan program penanaman ulang yang belum berjalan optimal. Kedua faktor tersebut dalam jangka panjang akan menimbulkan gap produksi yang akan semakin melebar. Selain produktivitas, kecakapan sumber daya manusia (SDM) yang mengelola perkebunan sawit juga harus perlu ditingkatkan, khususnya dari sektor perkebunan rakyat.
Kebanyakan sektor ini diisi oleh masyarakat sekitar yang tertarik untuk terjun ke industri ini. Kemauan besar tersebut sayangnya kurang dibarengi dengan dasar keilmuan yang cukup. Kebanyakan pekebun rakyat ini memiliki pengetahuan sebatas dari apa yang mereka lihat dan ketahui selama ini. Terbatasnya akses dan informasi ke bibit unggul menyebabkan tanaman sawit mereka kadang masih bergantung dari biji sawit yang gugur di lahan perkebunan. ”Dari pembibitan hingga pemeliharaan kurang bagus sehingga produktivitasnya rendah. Itu menjadi tantangan yang luar biasa,” ucap Sri Gunawan, Direktur Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY).
Kendala-kendala tersebut membuat hasil perkebunan sawit rakyat kurang dapat bersaing dengan perusahaan besar. Tak hanya mustahil mengejar dari sisi kuantitas, karena persentase luasan lahan yang lebih rendah, kualitasnya pun tidak dapat menutup gap tersebut. Untuk menjembatani kekurangan tersebut, perlu ada intervensi dari pihak terkait dalam pemberian pelatihan dan pendidikan bagi SDM kelapa sawit.
Solusi tepat untuk sawit rakyat
Pengembangan SDM kelapa sawit memang telah menjadi program yang fokus dijalankan oleh BPDPKS. Program ini merupakan bagian dari strategi integrasi hulu-hilir dalam meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan industri kelapa sawit. Tujuannya adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalisme, kemandirian dan dedikasi pekebun, tenaga pendamping dan masyarakat perkebunan kelapa sawit lainnya. Programnya terbagi ke dalam empat fokus utama yaitu pelatihan, pendidikan, penyuluhan, serta pendampingan dan fasilitasi.
Sejak terbentuk di tahun 2015 hingga kini manfaat program-program BPDPKS telah dirasakan oleh 11.688 total SDM yang telah dilatih di 283 kelas pelatihan yang tersebar di 21 provinsi di Indonesia. Berbagai macam pelatihan tersebut telah dirasakan oleh 6969 petani dan 1760 masyarakat umum. Di jalur akademis, program pengembangan SDM kelapa sawit telah bekerja sama dengan tujuh perguruan tinggi. Sebanyak 4.265 mahasiswa menerima beasiswa dan sekitar 2.330 alumni telah berhasil lulus dari program tersebut. Lulusannya tersebar di berbagai jenjang pendidikan tinggi mulai dari DI, D2, D3, D4 dan S1.
Mencetak SDM sawit berkualitas
Salah satu lembaga pendidikan yang bekerja sama dalam penyaluran beasiswa pengembangan SDM kelapa sawit adalah Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY) Lembaga Pendidikan tinggi jenjang diploma ini terlahir dari Institut Pertanian STIPER Yogyakarta yang merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi tertua di bidang keilmuan pertanian dan perkebunan di Indonesia. Hadirnya AKPY merupakan solusi langsung dari kebutuhan di lapangan untuk memenuhi kebutuhan mandor, operator, officer atau kerani di perkebunan. Posisi tersebut awalnya diambil dari penduduk lokal dari sekitar perkebunan atau dari karyawan yang sudah mengabdi di situ lama. “Secara knowledge mereka kurang karena hanya berbekal pengalaman saja. SDM lulusan AKPY dicetak untuk menjadi tenaga terampil di lapangan melalui program vokasi Diploma 1 berbekal 40 persen teori dan 60 persen praktik serta memiliki sertifikasi kompetensi,” beber sang Direktur.
Mereka yang berhak menerima beasiswa tersebut wajib berasal komunitas perkebunan kelapa sawit. Hal ini merupakan bentuk nyata implementasi nilai ”from palm oil to palm oil”. Pendaftarnya berasal dari kalangan pekebun, keluarga pekebun, dan SDM lain yaitu pekerja pada usaha budidaya atau pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit beserta keluarganya, dan pengurus atau anggota koperasi kelapa sawit dan aparatur sipil negara (ASN). Sosialisasi beasiswa ini melibatkan dinas-dinas terkait hingga ke koperasi-koperasi kelapa sawit di daerah-daerah.
Calon peserta akan disaring kelengkapan administrasinya. Mereka yang lolos berhak melalui seleksi tertulis dan wawancara. Keseluruhan proses seleksi beasiswa ini tidak dikenakan biaya. Bagi peserta yang lolos akan dibiayai seluruhnya dari keberangkatan ke kota tujuan perguruan tingginya, biaya studi serta praktik kerja, buku dan pendukung lainnya, tempat tinggal, serta diberi biaya hidup per bulan. Dari tahun ke tahun, kuota penerima beasiswa ini terus ditambah. Jika di tahun 2022 jumlah penerimanya tercatat 1000 orang, di tahun 2023 diproyeksikan bertambah menjadi 2000 orang.