Kuntul kecil jenis burung air yang paling banyak ditemui di daerah ekowisata Kampung Blekok. Foto: Instagram Kampung Blekok |
Kampung Blekok, Dusun Pesisir, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, merupakan kawasan ekowisata mangrove dan burung air yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Bupati Situbondo No. 13 Tahun 2017.
Diberi nama Kampung Blekok karena di wilayah ini banyak burung blekok sawah. Dijadikannya Kampung Blekok sebagai tujuan ekowisata, selain membuat masyarakat makin peduli alam, juga menambah pemasukan desa dan pendapatan warga.
Sejak dicanangkan sebagai tujuan ekowisata, Kampung Blekok telah dikunjungi lebih 13.500 orang. Tidak hanya wisatawan lokal tapi juga mancanegara, dari India dan Singapura.
Namanya memang Kampung Blekok. Letaknya di Dusun Pesisir, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Suasana nyaman kental terasa, begitu kita menginjakkan kaki di kampung yang berjarak 10 kilometer dari Kota Situbondo. Tidak hanya laut yang indah, hijaunya mangrove yang merupakan habitat beragam burung air membuat kita betah selama mungkin di sini.
Tahun 2017, berdasarkan Peraturan Bupati Situbondo No. 13 Tahun 2017 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati, kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan ekowisata mangrove dan burung air.
Kenapa diberi nama Kampung Blekok?
“Di sini memang banyak burung blekok sawah [Ardeola speciosa]. Tapi juga ada jenis lain,” terang Ketua Kelompok Sadar Wisata [Pokdarwis] Kampung Blekok, Kholid Maulana, baru-baru ini.
Blekok sawah merupakan burung berukuran 45 sentimeter, bersayap putih. Hidupnya di sawah atau daerah berair, sendirian maupun kelompok. Kebiasaannya berdiri diam sembari menunggu mangsa. Setiap sore terbang berpasangan atau berkelompok menuju tempat istirahat.
Spesies lain yang dimaksud Kholid adalah kuntul kecil [Egretta garzetta], kuntul kerbau [Bubulcus ibis], kowak-malam abu [Nycticorax nycticorax], cangak abu [Ardea cinerea], cangak merah [Ardea purpurea], dan kokokan laut [Butorides striatus].
Secara umum, burung dari Suku Ardeidae dicirikan dari kaki dan leher yang panjang. Paruhnya panjang-lurus, digunakan untuk mematuk ikan, vertebrata kecil, maupun invertebrata. Sarangnya biasa terbuat dari tumpukan ranting di pohon.
Kholid menuturkan, burung-burung tersebut biasanya beterbangan mencari makan jam 5 pagi dan kembali ke sarang sekitar pukul 5 sore. Mereka terbang dalam beberapa kelompok. “Bila pengunjung ingin melihat burung air itu memenuhi langit, dua waktu tersebut saat yang tepat,” ujarnya.
Dijadikannya Kampung Blekok sebagai tujuan ekowisata, diakui Kholid, selain membuat masyarakat makin peduli alam, juga menambah pemasukan desa dan warga. “Sore, apalagi Sabtu dan Minggu pasti ramai. Berbagai souvenir laris dijajakan,” ujarnya.
Cangak Merah yang dapat dilihat jam 6 pagi ataupun sora. Foto: Instagram Kampung Blekok |
Kawasan ekowisata
Kepala Bidang Penataan dan Penaatan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Situbondo, Anton Sujarwo mengatakan, sejak dicanangkan sebagai area ekowisata, Kampung Blekok telah dikunjungi lebih dari 13.500 orang. Tidak hanya wisatawan lokal tapi juga mancanegara, dari India dan Singapura.
Dengan hanya merogoh kocek 5.000 Rupiah, pengunjung dapat menikmati keindahan Kampung Blekok. Paket wisata lain juga tersedia, 25.000 hingga 50.000 Rupiah, untuk edukasi botani, kerajinan, 3R [reuse, reduce, recycle], magrove dan burung air, atau wisata perahu.
“Wisata mangrove tidak hanya Kampung Blekok, ada juga Pantai Dubibir di Suboh. Tapi, Kampung Blekok punya keunikan, satu-satunya habitat burung air,” ujarnya.
Kawasan mangrove seluas 6 hektar di Kampung Blekok ini dilengkapi jembatan kayu sebagai akses wisatawan untuk menikmati keindahan alam. Foto: Calista Amalia Wiradara |
Anton menambahkan, selain pesona alam, banyak hal unik di kampung ini. Seperti pada 24 Maret 2019 lalu, ketika Kampung Blekok menggelar festival yang dihadiri Bupati Situbondo, Dadang Wigiarto.
Ada gelaran makanan tradisional [kakanan lambek], ski celot [ski lumpur], dan enggrang untuk anak-anak. Tahun sebelumnya, acara Petik Laut digelar yaitu kepala sapi dilarung ke laut. “Kampung
Blekok juga masuk seleksi Anugerah Wisata Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur,” jelasnya.
Luas mangrove di Kampung Blekok sekitar enam hektar. Jenis yang tumbuh adalah Sonneratia alba, Avicennia alba, Avicennia marina, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, serta Rhizophora apiculata.
Berdasarkan riset yang dilakukan Pramudji, Balai Litbang Biologi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [Puslit Oseanografi LIPI], mangrove berperan penting sebagai penopang kehidupan berbagai jenis ikan, udang, moluska, dan biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berperan sebagai pelindung kawasan pesisir dari angina dan ombak laut, serta mencegah banjir yang terjadi di daratan.
Burung blekok sawah yang berada di kandang penangkaran ini umumnya anakan yang jatuh saat belajar terbang. Foto: Mongabay/Calista Amalia Wiradara |
Harmonis
Pagi itu, pertengahan Agustus 2019, pengawas penangkaran dari Dinas Lingkungan Hidup Situbondo, Lukman Dari, tengah memberi pakan blekok sawah dan kuntul kecil yang berada di penangkaran. “Kalau pagi ikan, siang jangkrik, sore ikan lagi,” sebutnya.
Selain memperhatikan nutrisi yang dibutuhkan, burung tersebut juga rajin dibersihkan dua kali seminggu. “Agar tetap segar dan bersih,” tuturnya.
Burung yang direhabilitasi dan dibiakkan dalam penangkaran ini sebagian besar merupakan anakan yang terjatuh ketika belajar terbang. Atau juga yang ditangkap orang di luar area ekowisata untuk dijual. Penangkaran ini dikelola dan diawasi Dinas Lingkungan Hidup Situbondo.
Kampung Blekok sebagai tujuan ekowisata, tidak hanay membuat kepedulian masyarakat pada alam meningkat, juga menambah pemasukan desa dan warga. Foto: Mongabay/Calista Amalia Wiradara |
Keharmonisan manusia dan alam di Kampung Blekok, telah terjalin sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai tujuan ekowisata. Bahkan, burung-burung air dibiarkan masuk ke kandang-kandang sapi warga ketika hujan. Warga menyadari, hutan mangrove maupun burung-burung merupakan kekayaan alam yang harus dijaga agar ekosistem tetap seimbang.
Sumber: Mongabay