Profil Pengusaha Yoga Prabowo
Nama Yoga Prabowo harum menjadi pembatik tulis termuda. Ternyata dirunut, perjalanan hidupnya panjang loh, mulai dari menjadi pegawai pabrik kayu di Desa Toyareka, Kecamatan Kemangkon, Purbalingga, pada 2006. Dia lantas tak melanjutkan bekerja karena perusahaan krisis dan memilih keluar.
Terkoneksi jaringan
Bahkan Tobing menyebut usaha dilakukan Yoga sangat hebat. Kalau saja ini dijual ke luar negeri maka akan laku keras. Akan tetapi Yoga sadar betul usaha batik tulisnya masih dalam proses berkembang; dia belum sanggup persyaratan berkas kwitansi dan lain- lain.
Perjalanan batik Purbalingga buatan Yoga unik. Ketika Pemprov Jawa Tengah membeli batik di Semarang, lalu mengadakan pertemuan dengan Pemkab Purbalingga, nama Yoga Prabowo terkenal seketika.
“…saat kunjungan kerja Pemprov menggunakan batik buatan saya yang dibelinya di Semarang lalu beliau meminta oleh- oleh batik yang coraknya seperti Batik yang dipakainya saat itu,” jelas Yoga.
Nah, ketika itu, Yoga memberikan satu kodi Batik Tirtamas, yang lantas tersisa cuma empat sisanya malah dibeli oleh Bupati Prubalingga Bpk. Triyono. Lantas serta merta dia bertanya kepada Pemkab kenapa ada pengusaha seperti dia tidak ada yang sadar. Justru pemerintah Provinsi lebih tau ketimbang Pemkab sendiri.
Semenjak kejadian tersebut semua kepala dinas dikumpulkan. Mereka kemudian diminta membantu Yoga agar bisa mengembangkan batik Purbalingga.
Koneksi internet
Kelebihan Yoga ialah dia pembatik tulis. Dia bekerja lewat rasa serta estetika lebih kuat. Menjadi jutawan muda berkat batik Purbalingga. Warna alami memberikan efek terbaik serta terlihat elegan, eksotis, dan juga mewah. Batiknya diminati oleh kolektor batik tulis berbagai kota di Indonesia.
Ia menyebut ada kulit kayu, daging kayu, bunga serta dedaunan. Oleh karena itulah dia memilih Yogyakarta menjadi basis usaha. Menurutnya batik Yogya banyak memanfaatkan alam jadi cocok. Untuk penjualan juga melalui sosial media, website atau blog, jadilah batik kian laris manis.
Dia menjual antara Rp.300 ribu sampai Rp.3 juta. Awal mengenal internet sendiri berawal dari akun pribadi yang kemudian berkembang. Dari sekedar mengisi waktu luang, sembari itulah dia berjualan batik buatan dia sendiri. Pelanggan tetap batik Tirtamas sendiri datang dari luar Jawa. Melalui sosmed saja menyumbang 40% penjualan.
“…lumayan besar,” ujar Alumni Angkatan 96′, Jurusan Pariwisata dan Perhotelan di Akademi Pariwisata Yogyakarta.
Yoga juga bersyukur berkat adanya jasa paket terintegrasi teknologi. Penggunaan jasa pengiriman sudah jadi kebutuhan bagi bisnisnya. Para pelanggan pun menuntut pengiriman cepat khusus ke luar Jawa. Tidak sedikit permintaan datang dari tempat pedalaman seperti di Kalimantan; ia menggunakan jasa kargo yaitu JNE.
Menurutnya infrastruktur di daerah sekarang ini sudah lebih baik. Pengiriman dapat diandalkan, sementara ia dengan santainya memajang hasil karyanya di internet. Meskipun sukses berkat sosial media, ternyata ada juga sisi negatifnya, yakni perlindungan akan desain miliknya.
Ini dirasakan betul olehnya. Ekslusipan motif batiknya menjadi kritis. Siapa saja, bahkan bukan pembeli, bisa saja mengakses hasil karyanya. Tidak bisa dipungkiri karyanya dijiplak dan diproduksi masal. Pernah sih ia berpikir mematenkan motif, hanya mematenkan berarti mengeluarkan biaya tidak sedikit.
“Karena mematenkan satu biayanya sampai Rp.2 jutaan,” jelas Yoga, yang kini sudah berkeluarga dan sudah punya anak dua.
Hingga Yoga sekarang lebih selektif hal menerima pesanan. Ia melihat sendiri mereka yang mengunjungi akun media sosial miliknya. Dia memberikan kontak BB atau nomor telepon buat mereka yang beritikad baik. Ia menyebutkan kalau pembeli serius akan langsung mengontak. “Dari situ baru saya tampilkan batik- batik saya.”