Biografi Pengusaha Arie Ardiansyah dan Grahadea Kusuf

Ditemui di kantornya, di salah satu ruang kerja PT. Kuassa Teknika yang luasnya 4×6 meter. Kamu akan langsung disuguhi beberapa action figure seperti tokoh Superman, Batman, dan juga Resident Evil.
Usaha Programer
Modalnya berkisar Rp. 500 juta, dan mereka hanya mengantongi Rp.50 juta.
“Kami tidak mungkin bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu cepat. Maka, ya sudah, kami urungkan cita-cita itu,” ungkap Arie.
Arie kemudian hanya meneruskan hobinya dibidang programing. Tiga tahun sebelum ia menjalankan bisnis studio, bapak satu anak ini memang dikenal hobi bereksperimen dengan ampli gitar serta komputer miliknya. Ia senang untuk bereksplorasi dengan suara gitar dan berbagai efek suara.
Alumnus Ilmu Tanah Universitas Padjajaran Bandung itu akhirnya menemukannya. Sebuah aplikasi atau software yang untuk kebutuhan recording, mixing, dan mastering. Setelah dua tahun ia mengerjakan “mainan” barunya.
Tambahnya, pada April 2010, Kuassa resmi meluncurkan produk softwarenya (Kuassa brand usaha, bukan nama softwarenya) yang bernama Amplifikation One. Software yang fokus pada suara gitar, namun tidaklah berdasarkan satu jenis genre saja.
Arie mencatat hanya tujuh pembeli untuk Amplifikation One. Itu pun dalam jangka waktu cukup lama, April–November. Namun, Kuassa tak berhenti berusaha membangun produk- produk baru.
Bangga Programer Indonesia
Dea yang mengurusi visual software sekaligus proses transaksinya, menyebut terkaget- kaget. Pria peraih gelar Master Bisnis Administrasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu mengatakan lagi, pasca kesuksesan Amplifikation Crème, penjualan produk lainnya ikut membaik dan meningkat.
Pembelinya sih kebanyakan dari Amerika (35 persen); disusul Inggris dan Jerman, dimana masing- masing 12 persen; Prancis (7 persen); Kanada (5 persen); Australia (4 persen); dan Jepang (3 persen). Menakjubkan sekali hasilnya.
Sedangkan dari Amerika ada nama Dieter Hartmann, komposer musik untuk film- film berkelas Hollywood. Yang karyanya film Butterlfly Effect, Ghost Rider: The Spirit of Vengeance, End of Watch, Watchmen, dan The Guardians of The Galaxy.
“Kami nggak sangka kalau pembelinya orang-orang top. Jelas, kami bangga banget ternyata ada produk Indonesia yang disukai orang-orang profesional di Jepang dan Hollywood,” ucap Dea lanjut.
Berbanding terbalik justru produk buatan mereka kurang laku di Indonesia. Hanya ada, yang tercatat, dari 7 ribu pembeli software Kuassa, hanya ada tujuh pembeli asal Indonesia! Itu juga laporan resminya.
Apa yang akan mereka bangun kembali ialah produk berbasis mobile. Mereka sangat ingin produk barunya itu bisa nangkring di Google Store dan Apple Store. “Mudah- mudahan segera terwujud. Ini target kami tahun depan,” tandas Dea.
Salah satu pengguna software Kuassa, musisi Hogi Wirjono, mengaku cukup puas memakai produk mereka yang bernama Kratos Maximizer dan Eve At Series Equalizer selama dua tahun terakhir.
Anang mengatakan, secara kualitas, software Kuassa tidak kalah bersaing dengan software musik Barat yang berstatus major label.
Dalam sebiah talk show bertajuk “Sebuah Reputasi Baik Tak Dibangun Sahri,” Dea lantas menjelaskan bahwa reputasi yang baik memang tidak dibangun dalam satu hari. Selama tahun-tahun awal, Kuassa fokus untuk terus meningkatkan kualitas produknya hingga menghasilkan feedback baik di banyak forum pengguna dan karena itu meningkatkan penjualan untuk produk Kuassa itu.
Akhirnya, produk Kuassa yang mandapatkan ulasan baik di berbagai forum internasional dan publikasi dan pada tahun 2012, mereka sukses memenangkan penghargaan dari Asia Pacific ICT Awards. Sejak itu, penjualan telah tumbuh semakin baik untuk Kuassa.