Produk Adidas dalam masalah. Itulah kiranya judul sebuah artikel di Business Insider. Jumlah penjualan yang menurun tajam di Amerika Utara. Ini menjadi pertanyaan besar apa yang dilakukan sang CEO sekarang. Dalam laopran di Wall Street Journal: saham perusahaan turun drasti sampai 40%
Apa yang salah? Dulu, Adidas merupakan kompetitor terbesar untuk Nike di Amerika. Tapi di satu tahun lalu, justru perusahaan berbasis Baltimore, Under Armour justru naik ke peringkat no. 2. Apa yang kita bisa pelajari dari khasus ini.
1. Perusahaan kehilangan selera pasar.
Dalam laporannya di Wall Street Journal. Masalahnya ada pada pihak eksekutif di cabang Adidas di Jerman yang mulai tak memperhatikan pasarnya. Christian Noah, pemilik distro besar berbasis di kota New York, Nohble, menyebutkan Adidas telah berhenti untuk mendata opini para retailer. Mereka berhenti bertanya kepada pasar modal macam apa yang masyarakat senangi.
Jika berbicara tentang pasar. Seharusnya Adidas tak memaksakan selera Amerika untuk cabang- cabang mereka. Itulah kiranya yang kami pahami dari artikel tersebut.
2. Perusahaan kehilang endors
Memilih orang untuk kamu endors di bisnis kamu merupakan pilihan. Namun, jangan sampai kamu tertinggal dengan pesaing kamu, mungkin tak terlihat sekarang tapi ini sebuah investasi jangka panjang. Sebut saja di tahun 1980 -an, dimana Adidas menganggap enteng pesona seorang Michael Jordan. Dimana mereka justru berpikir orang akan memilih menjadi ‘fans’ pemain yang tinggi di NBA.
Jangan terpaku kepada pasaran sekarang. Cermati betul bagaimana tokoh akan mengendors produk kamu. Hasilnya Nike ‘mencuri’ langkah dengan mengendors Michael Jordan. Semakin tertinggal ketika Nike rela untuk memberikan brand -nya kepada Jordan. Dengan model sepatu bernama Jordan, yang akhirnya, kini menghasilkan miliaran dollar.
Setelah tiga tahun kemudian, Nike masih mendapatkan uang dari penjualan spatu bermerek Jordan tersebut. Tidak cuma kasus di Jordan tapi secara keseluruan Nike mengendors lebih banyak atlit.
3. Perkembangan lambat
Dari produksi, hingga desain yang berkembang lambat, membuat brand tak punya daya saing. Menurut apa yang ada di artikel Adidas punya model cuma 18 bulan sekali. Inilah yang membuat perusahaan kesulitan untuk mendekati pasar, mengekapitalisasi trend, jelas Wall Street Journal.
Adidas, kini, mulai mengembangkan sistem agar pembaharuan setiap 6 bulan sekali. Tapi apakah terlambat.
4. Adidas membayar terlalu banyak untuk anak- brandnya
Mereka terlalu banyak membayar untuk akuisisi brand lain, Reebok. Hal tersebut mungkin bisa diatasi jika keduanya punya pasaran berbeda. Lebih banyak melakukan endorsment dan penyegaran di model. Mungkin ini tak akan jadi kerugian akuisisi $3,8 miliar. Ketika akhirnya Reebok harus berjuang keras untuk naik pamor kembali, sementara Adidas terus memasok investasi dalam brand -nya; tak fokus!