
Pugur.com – #Properti Industri properti terus memainkan peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Tak hanya menyediakan tempat tinggal dan ruang usaha, sektor ini juga menyerap banyak tenaga kerja serta menggerakkan lebih dari 185 industri pendukung, mulai dari produsen bahan bangunan hingga penyedia peralatan rumah tangga. Sepanjang tahun 2024, berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, investasi di subsektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran mencapai Rp 122,9 triliun. Angka ini menempatkan properti sebagai salah satu dari empat subsektor dengan investasi terbesar dari total 23 subsektor. Dari total tersebut, tercatat 20.017 proyek berasal dari penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan 17.818 proyek dari penanaman modal asing (PMA), menunjukkan tingginya minat investor terhadap sektor ini.
Capaian nilai investasi perumahan, kawasan industri dan perkantoran pada 2024 melampaui realisasi di tahun 2023 yang tercatat Rp 115,2 triliun. Ini menunjukkan sektor properti tetap menjadi salah satu sektor yang menarik minat investor, meskipun sempat mengalami perlambatan di beberapa tahun terakhir.
Hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) tahun 2023, menunjukkan, sektor properti, real estat, dan konstruksi bangunan menyediakan kesempatan kerja bagi 13,8 juta orang per tahun atau setara dengan 9,6 persen dari total angkatan kerja nasional tahun 2022.
Baca Juga : Jenis KPR, Berapa Uang Muka (DP)
Bagaimana prospek industri properti pada tahun 2025?
Meski berkontribusi besar dalam perekonomian nasional, industri properti dibayang-bayangi perlambatan ekonomi yang diprediksi berlanjut pada tahun 2025. Pusaran masalah geopolitik, permasalahan ekonomi di dalam negeri dan global, tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja yang berdampak pada pelemahaan daya beli masyarakat menengah bawah, hingga kejenuhan investasi menjadi tantangan di tahun ini.
Kabar baiknya, menurut Konsultan properti Knight Frank, Indonesia dengan dominasi penduduk usia produktif dan pasar yang bertumbuh merupakan keunggulan dan masih menjadi pertimbangan investor.
Adaptasi dan strategi diperlukan untuk menghadapi tantangan perekonomian di tahun 2025. Tahun ini menjadi pembuktian bagi pengembang untuk menawarkan produk terbaik demi menjawab kebutuhan dan menjaga pasar.
Apa strategi untuk mendorong resiliensi sektor properti?
Baca Juga : Pengertian, Dan Tujuan KPR
ndustri properti di Indonesia telah ditempa dan memiliki ketahanan (resiliensi) terhadap pelemahan ekonomi dan gelombang krisis pada periode-periode sebelumnya. Menurut kajian Knight Frank Indonesia, pengembang kini perlu beradaptasi dengan segmen pasar yang aktif di tengah pelemahan daya beli. Residensial di segmen menengah dan menengah bawah masih berpotensi tumbuh karena kebutuhan dasar.
Kedua, inovasi tidak mungkin dihindari untuk meningkatkan daya tarik properti yang ditawarkan. Di antaranya, mengembangkan properti dengan mengarah ke bangunan yang memenuhi kaidah lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG). Spesifikasi hijau yang sudah mencakup desain dan material bangunan akan mendorong efisiensi energi dan air yang dinikmati oleh penghuni dalam jangka panjang.
Ketiga, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI). Di kawasan industri, pengelolaan kawasan berbasis akal imitasi itu akan diperhitungkan investor sebagai sarana mencapai efisiensi dan meningkatkan operasonal kawasan industri.
Generasi milenial dan Z sebagai konsumen properti terbesar saat ini sudah memiliki kepedulian akan pembangunan berkelanjutan dan kian memperhitungkan properti hijau. Penerapan hijau atau ESG memiliki manfaat jangka panjang tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga pengelola properti.
Sejauh mana peluang properti hijau dan cerdas?
Permintaan terhadap bangunan dan hunian yang bersertifikasi hijau terus menggema dari konsumen, investor dan perusahaan sebagai bagian dari komitmen global dalam penerapan prinsip ESG. Bangunan berkonsep ESG memiliki beberapa indikator. Mengutip Knight Frank, dari sisi lingkungan mencakup efisiensi energi melalui penggunaan pencahayaan LED dan sistem HVAC hemat energi, pengelolaan air dengan sistem daur ulang, serta pemilihan material bangunan yang ramah lingkungan dan dapat didaur ulang.
Dari aspek sosial, indikator yang dinilai antara lain penyediaan ruang hijau, kualitas udara dalam ruangan, serta desain yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan penghuni. Sedangkan dalam aspek tata kelola (governance), indikator yang penting meliputi transparansi dalam operasional, kepatuhan terhadap regulasi keberlanjutan, serta adanya sertifikasi hijau yang menunjukkan komitmen terhadap praktik ramah lingkungan.
Sejumlah inisiasi dan inovasi properti terus digencarkan pengembang demi menangkap peluang dan menjawab kebutuhan pasar. Inisiasi produk properti hijau, baik komersial dan residensial, serta rumah berbasis AI mulai digencarkan.
Grup pengembang properti Sinar Mas Land, misalnya, pada Februari 2025 meluncurkan kawasan hunian bersertifikasi hijau pertama di Indonesia, yakni The Armont, di BSD City, Tangerang, yang menyasar segmen premium. Perusahaan mengembangkan hunian berkonsep hijau dengan harga yang bisa lebih terjangkau segmen menengah.
Pekan ini, pengembang PT Metropolitan Land Tbk (Metland) meluncurkan sistem smart home berbasis kecerdasan buatan atau MIRA lewat kolaborasi dengan perusahaan teknologi AI, Orpin. Implementasi MIRA diterapkan pada Kluster Walden, Metland Transyogi, Cibubur. Inovasi itu memudahkan penghuni mengendalikan penggunaan perangkat elektronik untuk efisiensi energi, hingga fitur keamanan rumah.
Konsultan properti Colliers Indonesia memproyeksikan, produk-produk yang mengedepankan inovasi dan ramah lingkungan lebih bertahan di tengah tekanan ekonomi dan pasar.
Apa yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong properti hijau yang terjangkau?
Meski properti hijau di Indonesia berpeluang besar, namun penerapan sertifikasi bangunan hijau dinilai masih butuh waktu. Hingga tahun 2024, luas area (gross) gedung perkantoran di Jakarta yang sudah mengantongi sertifikasi bangunan hijau dari lembaga pemeringkat dalam dan luar negeri tercatat baru 1,07 juta meter persegi (m2) atau sekitar 14 persen dari total gedung perkantoran. Jumlah itu masih jauh di bawah Singapura yakni 70-80 persen gedung perkantoran telah bersertifikasi hijau, dan Hongkong sebanyak 30-40 persen.
Sementara itu, hunian bersertifikasi hijau memerlukan biaya lebih tinggi, sehingga penawaran masih terbatas menyasar segmen menengah atas dan premium. Upaya mendorong properti hijau lebih terjangkau memerlukan dukungan pemerintah dan perbankan dalam aspek pembiayaan hijau. Apalagi, penerapan ESG telah menjadi salah satu yang diwajibkan dalam Taksonomi Hijau Otoritas Jasa Keuangan dalam investasi proyek-proyek properti untuk bisa mendapatkan pinjaman hijau.
Pemerintah dinilai perlu mendorong insentif dan regulasi pada pengembangan kawasan dan bangunan ramah lingkungan. Dukungan perbankan juga dinilai perlu ditingkatkan terhadap proyek bangunan hijau melalui pembiayaan berkelanjutan berupa keringanan suku bunga kredit atau pinjaman.
Pengembangan hunian bersertifikasi hijau perlu didukung lewat pembiayaan berbasis hijau agar lebih terjangkau konsumen.Tantangan pembiayaan hijau harus dijawab ke depan agar bangunan hijau bisa berkembang lebih banyak lagi dan terjangkau dalam rangka komitmen mengurangi pemanasan global.
Baca Juga : Persyaratan Dokumen Pengajuan KPR untuk Perorangan dan Pemilik Badan Usaha
Liburan Nyaman Tanpa Bikin Kantong Bolong: Menikmati Villa Murah dengan Fasilitas Mewah - Pugur
[…] Baca Juga : Industri Properti 2025: Tren, Tantangan, dan Peluang Investasi […]
Gapura Prima Luncurkan Perumahan Baru Harga Mulai Rp 500 Jutaan - Pugur
[…] Baca Juga : Industri Properti 2025: Tren, Tantangan, dan Peluang Investasi […]
Investasi Mana Lebih Menguntungkan Villa, Hotel, Perumahan
[…] Baca Juga Industri Properti 2025: Tren, Tantangan, dan Peluang Investasi […]